Selasa, 11 Agustus 2009

Kematian

Aku sering memikirkan tentang proses kematian. Aku sering merenungkan akan seperti apa perjalanan ruh yang tercabut dari jasadku. Akankan itu menjadi proses yang menyakitkan? Aku pernah membaca perumpamaannya. Bahwa rasanya seperti ketika kau melihat mimik unta yang sedang dikuliti hidup-hidup. Hmm!

Aku juga sering memikirkan bagaimana aku meninggal. Apakah aku akan mati karena tua? Apakah aku akan mati karena sebuah kecelakaan lalu lintas? Tabrak lari? Tabrakan beruntun? Mobil dengan motor? Atau motor dengan motor?

Apakah aku akan mati karena wabah penyakit? Atau mati di sebuah bencana alam? Banjir? Gempa? Longsor?

Ketika aku hampir tenggelam di sebuah kolam renang ketika masih muda dulu, aku rasa aku sudah hampir bisa merasakan kematian.

Aku masih ingat perasaan ketika oksigen sudah mulai berkurang tergantikan literan air yang mulai memenuhi tubuh. Mataku yang melotot dan paru-paruku yang rasanya seperti meledak, tak menemukan udara untuk dihirup. Oh, ternyata bukan itu momen kematianku. Aku hanya dipersilahkan saja untuk merasakan sensasinya. Terima kasih Tuhan atas anugerah itu.

Ketika suatu siang yang terik, motorku hampir ditabrak oleh truk yang melaju menyalip kendaraan lain dengan kencang, aku rasa aku sudah hampir bisa merasakan kematian.

Detik ketika aku tersentak, dengan nafas yang tertahan, dan mulut yang menganga di atas motor. Sepersekian detik yang sangat dramatis, dan perasaan sesudahnya ketika aku mendapati diriku yang lolos dari maut, ngos-ngosan menenangkan diri itu, yang sampai sekarang susah hilang dari ingatan. Jika saja itu adalah momen kematianku, maka aku akan mati tanpa kalimat apapun terucap dari mulutku. Apalagi kalimat tauhid yang kudamba akan bisa terlafaz menjelang kematianku! Tidak ada yang terucap! kecuali kata ”ah” yang tercekat karena kaget.

Momen lain ketika aku sebagai terbonceng, terhempas dengan dada dihantam truk Angkatan Darat yang kokoh dan besar, hmm aku hanya dipersilahkan saja untuk merasakan betapa menyakitkannya jika dada yang ringkih terhantam sisi kanan sebuah truk yang besarnya sedunia. Betapa tidak imbangnya. Luka dalam yang biru dan lebam di sekujur tubuh yang masih menyisakan nyeri bahkan seminggu setelah kejadian, seperti mengingatkan bahwa aku hanya manusia yang tak pantas untuk sombong. Itu hanyalah sebuah truk yang menghajarku, dan bukan aneka peralatan neraka yang akan menyiksaku kelak di neraka. ))

Di umur berapa aku akan memui ajalku? Akankan seperti seorang saudara yang meninggal di kursi makan dengan wajah yang lunglai di atas meja makan? Sehat walafiat, segar bugar dan sedetik kemudian ”hilang”. Akankah seperti itu?

Aku pernah membaca, Allah akan menjadikan proses kematian untuk hamba-hambaNya yang terpilih, terasa menyakitkan. Melalui ruh yang tercabut dengan perlahan dari ujung kaki hingga bagian paling atas jasadmu, bersama itu pulalah dihabiskan sekalian dosa-dosamu di sekujur jiwamu. Maka proses itu menjadi maha sakit. Aku rasa aku tidak akan keberatan mengalami itu. Berharap bersih seperti bayi kemudian melenggang masuk ke jannahNya adalah sebuah cita-cita mulia yang butuh untuk diperjuangan dari sekarang aku rasa. Seperti layaknya cita-cita wafat dengan husnul khotimah. (Insya Allah. Insya Allah. Hope soooo)

Ketika peristiwa Israel yang menyerang Palestina, media seperti sudah mati rasa dan tega menayangkan gambar bayi dan anak-anak yang mati tertembak atau terkubur hidup-hidup. Aku memandang mereka lekat-lekat dan membaca raut-raut wajah penghuni surga.

Ketika seorang teman keguguran, kehilangan batitanya, ketika seorang saudara kehilangan janin kembarnya, aku mentafakuri peristiwa ruh anak-anak yang sedang melenggang masuk ke surga. Aku iri pada ruh mungil itu dan iri kepada para orang tua yang sedang diuji Allah itu. Apakah itu jelek karena iri pada hal-hal aneh? Mudah-mudahan tidak.

Ketika peristiwa tsunami terjadi di Aceh dan Metro TV yang terus menerus memutar rekaman amatirnya, aku menatap lekat-lekat wajah-wajah yang bersalaman dengan maut. Mereka sudah ”di situ” dan aku mengira-ngira seperti apa rasanya.

Ketika Amrozi Cs tertangkap dan sedang menantikan detik-detik eksekusi, aku menatap wajah-wajah mereka dari layar kaca. Ini bukan karena huru-hara yang mereka lakukan atas nama agama, atau karena pilihan ”perjuangan” mereka. Itu urusan mereka. Ini tentang menduga-duga apa saja kegiatan mereka di last days on earth itu.

Bagi mereka-mereka yang menunggu hari penembakan, aku menduga-duga apa saja yang mereka lakukan? Apakah beribadah sebanyak-banyaknya? Beramal sholeh, memohon ampunan, istigfar, bersedekah, menyucikan jiwa, dan sejenisnya, dan sejenisnya? Mungkin.

Ini bukan tulisan tentang "mengharap" untuk mati karena kita muslim dilarang melakukannya. Ini sekedar tulisan utnuk mengingat kematian itu sendiri. Dengan mengingat kematian hati menjadi lebih wara' dalam menjalani hidup.

0 comments:

 

Simply Dini Copyright © 2011 Designed by Ipietoon Blogger Template and web hosting