Senin, 02 Agustus 2010

After reading Ibnu Qayyim Al Jauziyah


Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuhu

Assalamualaikum ahladdayari minal mukminina walmuslimina wainna insya Allah laaquwna wayarhamullahul mustaqdimiiyna minna walmusta’khiriiyna as alullaaha lanaa walakumul aa fiyah..
“Salam sejahtera atas kalian wahai para penghuni kubur dari orang-orang Mukmin dan Muslim, sesungguhnya atas kehendak Allah kami akan bersua dengan kalian. Semoga Allah merahmati orang-orang yang lebih dahulu meninggal daripada kami dan kalian serta yang lebih akhir. Kami memohon afiat kepada Allah bagi kami dan bagi kalian..”

Papa tersayang,
Sejak aku tahu bahwa ruh bisa mendengar kita hanya saja tidak mampu menjawab, aku memutuskan untuk menulis surat ini buat papa. Semoga Allah ijinkan ruh papa untuk mendengar ini semua.

Papa tersayang,
Bersama surat ini aku mau menyampaikan beberapa hal yang tidak sempat atau jarang aku ucapkan pada papa semasa papa hidup.

Papa tersayang,
Aku menyayangi papa karena Allah, aku mencintai papa karena Allah, aku meminta ridho papa dunia akhirat, aku meminta maaf atas semua perkataanku yang mungkin pernah melukai hati papa, aku meminta maaf atas semua tingkah lakuku yang pernah mengecewakan papa.

Papa tersayang,
Semoga Allah Ar Rahman Ar Rahim memberi papa kebaikan, kebahagiaan, dan kasih sayang yang lebih besar dari yang pernah papa dapatkan di dunia. Semoga Allah menempatkan ruh papa di sisiNya yang paling mulia.
Kami semua akan menyusul papa. Semoga kita semua bisa berkumpul di jannahnya Allah. Sembari menunggu masa itu tiba insya Allah kami di sini akan selalu mendoakan papa, dan melakukan amal sholeh. Semoga kebaikan-kebaikan dan pahala-pahalanya bisa papa rasakan di sana. Amin

Untuk semua muslimin dan muslimah yang ada di sini yang sudah mendahului aku di perkuburan ini, aku ucapkan seperti yang tertulis di buku Ruh karangan Ibnu Qayyim:
Semoga Allah mendengar ketakutan kalian, merahmati keterasingan kalian, mengampuni keburukan kalian dan menerima kebaikan kalian. Amin

Jumat, perkuburan muslim Pupuk

Kangen Papaku

Aku rindu memandang teduh matamu, memandang sejuknya senyummu. Aku rindu mendengar suaramu, menyimakmu bercerita tentang masa lalumu, yang selalu kau ulang-ulang. Papa aku rindu menyentuh kulitmu, menyalami tangan kasarmu, menciumnya dengan pipiku, dengan bibirku. Kedua tanganmu yang membesarkanku dengan kasih sayang tak bernilai. Papa aku rindu memeluk tubuhmu yang besar dan kokoh, sampai-sampai aku lupa bahwa kau memang sudah renta. Betapa sehatnya engkau, papa. Betapa masih gagahnya engkau ketika pergi. Papa aku rindu memandangmu berjalan, mendekat ke arahku. Cara berjalanmu yang seperti menuruni bukit, cepat dengan wajah menunduk ke bawah. Seperti cara berjalan nabi Muhammad..

Papa,
Rindu ini tak kusangka akan sangat menyesakkan dada. Semua persiapan mental dan spiritual yang sudah aku tata ketika kau masih hidup seperti tak berguna. Melihat rambutmu yang sudah memutih dulu, mencuri pandang ke kulitmu yang memang sudah keriput menua, aku menata hati untuk siap kehilanganmu. Tapi kini, ketika masa itu telah tiba, aku hanya tak menyangka akan sesedih ini. Papa, aku cuma rindu padamu, itu saja. Aku rindu semua tentangmu.

Papa,
rindu ini bukan tidak ikhlas. Aku percaya Allah lebih mencintaimu daripada kami seisi rumah. Tapi rindu itu manusiawi papa. Rindu yang tidak gampang hilang. Aku berharap akan bertemu lagi denganmu di sebuah tempat yang lebih baik. Aku akan memeluk tubuhmu yang besar itu. Aku akan mencium pipimu, mengutarakan hal-hal yang belum sempat aku utarakan di dunia. Semoga tempat itu adalah surgaNya. Amiinn..

Papa,
Aku menyayangimu karena Allah..

Di kamar tempat ia dijemput,
27 July 2010

2 Agustus 2010


Hari ini sebulan yang lalu, ingatanku tentang proses kepergian papa seperti potongan-potongan slide yang terus berulang. Bahkan hingga saat ini, setelah hari berjalan 30 langkah. Setiap kali ingatan itu muncul, air mataku selalu mengalir tidak terbendung. Kesedihan ini menyesakkan dada dan aku selalu meyakinkan diri bahwa itu bukannya tidak ikhlas. Slide itu termasuk ketika papa berjuang meraup oksigen sebanyak-banyaknya, berusaha mengatur nafas mati-matian. Oh, begitu rupanya rasanya ketika maut menjemput. Namun aku merasa papa sangat bersahabat dengan malaikat maut. Aku merasa mereka menjemput papa dengan sangat lembut dan berhati-hati, seakan tidak ingin orang tua yang baik itu tersakiti. Betapa tenangnya ia ketika pergi. Di tengah istri tercinta dan dua anak yang menyayanginya, yang terus menuntunnya dengan zikir dan kalimah tauhid.

Skenario Allah begitu indah. Mereka berdua datang mengunjungiku, ingin mendampingi aku menjemput anak keduaku yang akan segera lahir. Ketika aku selesai bersalin aku mencium tangan mereka, papa juga. Dia tersenyum sejuk seperti biasa. Aku menangis mengingat betapa aku adalah anak yang mengecewakan. Namun pada akhirnya di tengah-tengah kesedihan ini aku merasa sangat bersyukur. Allah mengambil papa pada saat papa berada di rumahku, dekat dengan ku. Bisa aku dampingi. Ini adalah sesuatu yang aku doakan dan menakjubkannya, Dia mengabulkan itu. Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam. Aku juga masih takjub dengan dekatnya kuburan papa dengan rumahku. Ini memungkinkanku mengunjunginya sesering mungkin. Sekali lagi aku sangat bersyukur kepada Allah.

Memandang mama sekarang, seorang diri, ia tidak akan kemana-mana lagi. Ia akan tetap di sini, bersamaku anaknya, dan cucu-cucunya.

Untuk mama, aku berdoa kepada Allah hal yang sama. Aku merasa tersanjung karena Allah mempercayakan aku merawat mama. Allah mempercayakan aku berbakti kepadanya di sisa umurku. Aku juga tersanjung karena Allah memilih rumahku ketika menjemput papa. Malaikat maut telah bertamu ke rumah ini. Rumah ini telah ditakdirkan menjadi lebih bersejarah dari yang aku duga. Cerita di dalamnya lebih kaya dan dalam. Kepergian papa adalah puncaknya. Di tiap sudutnya sekarang tertoreh sejarah. Di kamar depan ruang dimana papa “pergi”. Di belakang tempat papa mandi untuk terakhir kalinya. Di depan tv ini rupanya ditakdirkan sebagai tempat papa disemayamkan.

Ketika proses aqiqah anak keduaku, Papa menyaksikan dalam tidur panjangnya. Subhanallah, maha suci Allah. Kelahiran dan kematian menjadi terasa begitu dekat hari itu. Aku menggendong bayiku dan berdoa di depan jenazah papa yang disemayamkan di depan tv. Merasakan sedih dan senang di detik yang sama walaupun sejujurnya rasa sedihnya lebih mendominasi. Aku hanya akan berkata bahwa Allah adalah Maha Besar dan Maha Kuasa atas segala sesuatu. Allah memberiku pelajaran besar dengan peristiwa ini. Aku sudah bukan orang yang sama lagi, dengan tekad baru.

Terima kasih ya Allah. Aku akan berusaha menata kesedihan ini. Aku ridho dengan keputusanMu namun tak bisa dipungkiri bahwa kenangan tentang papa akan selalu hidup di dalam hati. Kami hanya akan memeluknya dengan Al Fatihah dan doa-doa sekarang. Semoga Allah menempatkan papa di tempat yang mulia di sisiNya.
 

Simply Dini Copyright © 2011 Designed by Ipietoon Blogger Template and web hosting