Minggu, 30 November 2008

Mengangkat beban

Disadur dari www.andaleh.blogsome.com

Sebutlah Adi dan Dodi sedang berwisata di pantai dalam acara sekolah. Ketika mereka tengah dalam candaan, ada tantangan dari Dodi kepada Adi. Dodi yang bertubuh besar dan gemuk menantang Adi yang bertubuh kecil untuk mengadakan kompetisi. Dodi mengangkat Adi, setelah itu gantian Adi mengangkat Dodi. Mereka akan mengukur siapa yang paling lama mengangkat temannya.
Dodi yakin seyakin yakinnya bahwa Adi tidak akan sanggup berlama-lama mengangkat badannya. Karena itu Dodi menantang Adi. Dan Dodi yakin juga bahwa Adi akan menolak tantangan itu.
Tapi Dodi salah. Rupanya Adi menyambut dengan baik, walau dengan syarat.
“Memangnya, syaratnya apa?” Tanya Dodi.
“Kamu mengangkat saya di atas pasir, sedangkan saya mengangkat kamu di laut.” Ujar Adi.
“Boleh.” Ujar Dodi.
Maka dimulailah pertarungan itu.
Alhasil, di luar dugaan. Adi berhasil lebih lama mengangkat Dodi yang tubuhnya lebih besar.
Mengakui kekalahannya, Dodi bertanya, “apa rahasianya?”
“Jawabannya adalah, karena saya dibantu oleh gaya apung yang ada pada air laut. Sehingga ringan bagi saya untuk mengangkat kamu.” Ujar Adi. “Gaya itu ditemukan oleh Archimedes. Kalau kamu simak pelajaran fisika kemarin, kamu pasti paham.” Tambah Adi dengan senyuman.
*****
Hidup ini serupa dengan kompetisi di atas. Bahwasanya masing-masing kita memiliki tugas untuk mengangkat beban masing-masing. Beban yang diangkat tentu saja sesuai dengan kemampuan seorang manusia. Begitulah sunnatullah.
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya…” (QS 2:286).
Tetapi ada perbedaan antara seorang muslim yang bertaqwa dengan seorang kafir. Seorang muslim mengangkat bebannya laksana mengangkat beban di air, sedangkan seorang kafir mengangkat bebannya laksana mengangkat beban di atas pasir. Ada ‘gaya apung yang dimiliki oleh air’ yang membantu seorang muslim yang bertaqwa untuk mengangkat bebannya. Gaya apung itu adalah bantuan dari Allah SWT.
“…Dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.” Ath-Thalaq : 4.
Dengan bantuan ‘gaya apung’ inilah seorang muslim yang bertaqwa bisa mengangkat bebannya lebih lama. Sedangkan orang kafir yang tanpa bantuan gaya apung tersebut, berpotensi besar untuk menyerah, membanting bebannya lalu dia pun terjatuh.
Seorang muslim yang bertaqwa tidak akan mengenal akhir seperti itu.
“…Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar.” (QS Ath-Thalaq : 2).
“Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (QS 47 : 7)
Allahu’alam bish-showab.

Memasak

Memasak selalu menjadi sesuatu yang stressful. Membikin stress. Membebani. Menurutku ada dua type ibu, dalam kaitannya dengan memasak. Satu, ibu yang bisa memasak. Dua, ibu yang pintar memasak. Type pertama, bisa. Ia hanya bisa memasak, tapi tidak pintar. Hanya bisa. Yah sekedar masak. Simple food dan tidak variatif. Yang kedua ibu yang pintar. Handal. Bisa semua jenis masakan. You name it! Dari yang sekedar oseng mengoseng, sampai yang bumbu kuning, hijau, merah, santen, kuah, semua oke. Type jenis ini biasanya disayang suami:D. Bagaimana tidak. Tiap hari disuguhi makanan yang bervariasi. Tiap hari tinggal request. Si Bapak tidak akan mati kebosenan karena masakan yang dikonsumsinya dalam seminggu bisa bermacam-macam. Si Ibu juga sangat enjoy melakukannya. Karena ia pintar, biasanya ia senang akan kegiatan masak memasak.

Tanpa susah-susah mencari contoh, aku adalah termasuk type yang pertama:D Begitu di rumah ada acara yang tamunya banyak, langsung bingung mau masak apa. Stress. Keringatan, tidak bisa tidur. Memikirkan akan masak apa. Kalaupun sudah tahu apa yang akan dimasak, menjadi stress memikirkan bumbu-bumbu apa yang akan terlibat. Langsung sibuk menelpon mama di luar kota sana, atau heboh mencari buku resep, atau buka-buka internet. Cari resep yang gampang tapi pantas. Ketika sudah dapat rempah-rempahnya, sekarang tinggal mengkomposisikannya. Memasak ternyata bukan sekedar tahu bumbu, tapi juga harus pas dalam hal mengira-ngira. Ini repotnya. Kalau dulunya masih gadis jauh dari dapur, maka biasanya berakhir jadi ibu type satu.

Ibu type dua yang aku kenal namanya Mbak Nana. Beliau tidak lain adalah saudara sepupuku sendiri. Kalau masak matanya berbinar-binar. Senyumnya menyungging. Beliau juga rajin praktek resep. Guntingan kliping resepnya banyak. Bila mencicipi suatu masakan, langsung bisa menebak bumbunya apa-apa saja. Ini yang hebat. Menakjubkan. Ajaib. Aku tidak akan mungkin bisa seperti itu. Beliau paling senang bicara kuliner. Aku juga suka, tapi mbak Nana akan bicara kuliner disertai keinginan untuk tahu cara membuat. Nah, itu bedanya dengan aku. Kalau aku cukup sampai tahap makan dan komentar.:D

Walaupun ada yang bilang bahwa pintar memasak hanya masalah waktu, masalah jam terbang, aku termasuk tidak setuju. Sangat menentang pendapat itu. Bagaimana mungkin? Aku saja yang sudah hidup tahunan di bumi, sampai sekarang masih gagal untuk bisa masak. Namun apa daya, aku hidup berdampingan dengan kegiatan masak. Kalau nggak masak, mau dikasih makan apa keluarga?. Kalau harus terus jajan, kan mahal. Jadi ya..hadapi saja. J.a.l.a.n.i

Rabu, 12 November 2008

Congrats!

Selamat menjadi tamu Allah ya Mama dan Papa. Hanya orang-orang pilihan yang mendapat hidayah Allah sajalah yang datang ke Baitullah. Bayangkan begitu banyaknya orang-orang kaya namun belum terbuka hatinya untuk menunaikan ibadah haji, dan bayangkan begitu banyaknya orang-orang yang tak mampu namun begitu merindukan ingin pergi ke Mekah. Ah kalian memang beruntung. Tolong doakan aku bisa menyusul ya. Doakan juga keluarga dan anakku, mama papa.

Senin, 03 November 2008


Ternyata Laskar Pelangi the Movie sehebat gaungnya. Ia memang film yang hebat yang tak hanya berhasil menangkap esensi novel aslinya, tapi juga berhasil mengcapture semua karakter-karakter yang ada di dalam novelnya secara menyeluruh. Walaupun ada beberapa karakter baru, itu ajaibnya tidak mengubah alur cerita secara signifikan.


Salut buat usaha Riri dan kawan-kawan. Teruslah membuat film-film bermutu yang punya kontribusi untuk negara. Ayo jangan bikin film sampah dong!

Tapi apalah artinya Neng…


Aku senang dan antusias menemukan bahwa daerah tempat berlabuhnya mama papa di masa pensiunnya adalah daerah yang sangat ideal. Terletak di pinggiran kota Malang, Sawojajar bersikap sangat hangat pada para “manula pensiunan” itu. Tidak hanya penduduknya, namun juga akses jalannya. Kemana-mana sangat dekat. Ke jajanan kaki lima, ke pasar, ke mesjid, ke ruko-ruko yang berjualan aneka macam keperluan rumah tangga, bahkan dekat pula ke sebuah panti asuhan yang bisa dipandang sebagai ladang buat beramal.
Mereka tidak perlu ke pusat kota Malang untuk membeli kebutuhan. Cukup ke luar dari komplek, semua keperluan tersedia. Dan yang paling penting, terdapat banyak keluarga-keluarga dan kerabat yang 24 jam sigap membantu mama papa dengan ikhlas. Mama papa sudah sepuh, segala keterbatasan menyergap. Energi tidak sekuat dulu lagi. Gerakan tubuh sudah lamban. Ketergantungan pada keluarga terdekat menjadi sangat tinggi. Maka melihat mama papa dikelilingi oleh keluarga yang siap sedia membantu mereka, membuatku banyak-banyak bersyukur pada Allah SWT.

Pada suatu hari, membonceng di belakang sepeda motor papa, aku memuji-muji dan menyatakan kelegaanku atas semua ini. Aku juga mengucapkan selamat karena pilihan papa mama memilih tinggal di kota Malang sudah tepat. Papa mengendarai motornya perlahan. Dari belakang hanya bisa kulihat papa menyimak semua kalimatku. Beliau tidak mengatakan apa-apa. Aku tidak bisa melihat wajahnya. Namun begitu berucap serangkaian kalimat, hatiku menjadi gerimis mendengarnya. “Tapi apalah arti semuanya Neng, tanpa Kamal di dekat rumah…”

Kamal Tour de Java



Alhamdulillah, akhirnya berakhir juga perjalanan Kamal keliling Jawa. Dari Depok, ke Semarang, ke Malang, kembali ke Balikpapan. Depok menawarkan kehangatan ala keluarga Zakaria, Semarang mengajarkan tentang arti hidup sederhana dan bersahaja, Malang memberi kasih sayang yang berlimpah dan terkadang berlebih-lebihan. Pemanjaan yang absolute terhadap seorang cucu:))
Perjalanan kemarin memang banyak memberi pelajaran. Tentang persaudaraan, empati, kehangatan, keikhlasan, dan pelajaran-pelajaran hidup lainnya.

Namun apabila boleh membandingkan, ternyata tidak ada yang seindah berada di rumah. Dekat Bapak dan Ibu. Dan Kamal. Walaupun pada awalnya kembali ke Balikpapan seperti membuat Kamal kesal, tapi Alhamdulillah semua jadi cair begitu merasakan nikmatnya berenang pakai pelampung. Apalagi ketika sudah sekolah lagi. Ketemu teman-teman lagi, ketemu Bu Nida, Pak Wawan, dan hmm satu guru baru yang baik, Bu Ratih.

Di awal-awal berada di rumah, masih disebut semua nama anggota keluarga Jawa. “Tante Dian, Uti Eni, Kukung Dirjo, Kakak Ika, Kakak Tia, Abang Padi, Mamah Mimit, Abah Hemi, Nenek Titik, Kaik Dudin”. Anak yang manis. Selalu bisa membalas kasih sayang keluarga-keluarga dengan kasih sayang juga. Alhamdulillah.

Selalu ada perpisahan untuk sebuah pertemuan. Biarlah Kamal belajar tentang yang satu ini. Semoga selalu diberi cukup rezeki dan kesehatan sehingga terus bisa menyambung tali silaturahim antar pulau. Amin ya Robbal Alamin.
 

Simply Dini Copyright © 2011 Designed by Ipietoon Blogger Template and web hosting