Rabu, 30 Juli 2008

Jabalussalam..

Jabalussalam menjadi akrab di hidupku sekarang. Jabalussalam adalah nama sebuah sekolah tempat aku menyekolahkan anak dua tahunku. Aku ingin menulis selain bahwa aku merasakan, bahwa aku menyayangi sekolah ini, seperti anakku menyayangi guru-guru di sekolah itu. Dari mulut kecilnya tersirat bahwa rasa sayangnya pada perangkat sekolah itu membuncah-buncah. Cerita-cerita lucu yang bagiku mengagumkan, keluar dari mulut seorang yang masih suci.

Anakku memuja Pak Wawan, dan Bu Nida. Pak Wawan orang yang baik katanya. Aku percaya sepenuhnya. Indra keenam dari seorang yang putih bersih seperti anak-anak, memang seharusnya kita percaya.

Sekolah ini memang mengagumkan. Bukan hanya kebetulan belaka kalau Tuhan mengatur pertemuanku dengan Jabalussalam. Aku menemukan nama Jabalussalam ribuan kilometer jaraknya dari sekolah itu sendiri. Menurutku itu mengagumkan. Orang yang tinggalnya sangat jauh dari sekolah, mengenali sekolah itu. Jabalussalam memang harum namanya. Bak seorang pahlawan yang telah mangkat. Selalu harum dan terkenang.

Kekagumanku masih berlanjut ketika aku mendatangi sosoknya. Pertama datang, memang yang kasat mata lah yang tampak. Bangunannya sederhana. Kecil tidak besar. Terletak di samping sebuah mesjid yang juga miliknya. Aku masuk ke dalamnya diiringi senyum tulus seorang wanita muda. Belakangan aku tahu bahwa itu Ibu Hera.

Kelasnya tidaklah besar. Namun rapi dan nyaman. Ada juga saung-saung yang teduh dan bersih. Sebagaimana halnya sekolah-sekolah lain, di dinding-dinding ditempel beberapa hasil karya siswa, poster-poster edukatif, kalimat-kalimat yang memotivasi anak didik, dan kalimat-kalimat Islami. Pertemuan pertamaku dengan Jabalussalam menghasilkan cintaku pada pandangan pertama.

Selanjutnya yang timbul adalah rasa sayang yang sudah aku sampaikan di paragraf awal tulisan ini. Ketulusan guru-gurunya membuatku terus bersyukur di dalam hati. Melihat bagaimana mereka mengatasi seorang anak berumur dua tahun yang tidak mau lepas dari ibunya di hari pertama sekolah, membuatku makin mengaguminya. Belum lagi cara mereka mengayomi anak-anakku, bermain, belajar.

Kesederhanaan mereka bersikap membuatku kecil. Pakaian-pakaian Islami yang mereka kenakan, yang tidaklah bagus apalagi mahal, namun bersih dan rapi, membuatku merasa malu. Sekolah ini memberiku pelajaran tanpa mereka sadari. Sekolah ini memang penuh aura rahmat.

Anakku, dengan mantap ibu titipkan engkau di Jabalussalam. Doaku menyertai kalian.

(Dini 2008)

Process, journey, endless..

Mengumpulkan kembali beberapa coretan-coretan dari masa lalu, membuatku tersadar bahwa menulis sudah jadi bagian dalam hidupku. Menulis menjadi semacam terapi melepaskan seluruh rasa yang pada saat itu sedang diidap. Rasa sedih, penat, tertekan, senang, gembira, sayang, benci dan lain-lain. Dari yang ringan kelas bulu sampai yang ekstrim kelas bantam.

Aku sedikit bersyukur karena terapi yang tak sengaja kupilih ini, sangat aman ketimbang jenis-jenis pelepasan lain. Beberapa teman yang mengaku gaul dan modern malah mencari pelepasan-pelepasan yang berbahaya seperti ngobat, ngeseks bebas, dan atau dugem sana-sini untuk melupakan masalahnya.

Yah, memang, aku bukannya yang suci ala sufi, tapi sejauh ini, sepanjang duapuluh tujuh tahun hidup di atas bumi Tuhan, aku tidak pernah melakukan hal-hal yang merugikan orang lain. Paling-paling mumet sendiri memendam masalah dan lalu menulis! Curhat menjadi pilihan kesekian dalam kamus solusi masalah yang aku anut, karena untuk orang yang introvert, curhat sana-sini bukan hal yang mudah.

Beberapa tulisan yang kutemukan kemudian mengingatkanku pada masanya masing-masing. Tulisan yang paling tua adalah tahun 1993, meskipun jauh sebelum itu aku sudah menulis sebuah buku diary ala pelajar. Dalam hal ini, yang kudefinisikan sebagai tulisan adalah semua karya-karya “seni” ku (mungkin “seni” terlalu indah, tapi apa boleh buat, aku gagal menemukan sinonimnya) dan yang sejenisnya kecuali diary.

Di tahun 1993 usiaku 12 tahun. Aku berada di awal bangku Sekolah Menengah Pertama. Tulisan tertuaku itu berbentuk puisi, atau sesuatu sejenis puisi, kalau memang tidak pantas disebut puisi. Bercerita tentang keluarga. Mungkin pada saat itu, aku merasa being blessed karena punya keluarga yang kompak dan sangat akrab. Rumah yang selalu ramai dengan senda gurau. Mama papa yang baik, kakak yang lucu. Sehingga kemudian aku menumpahkannya ke dalam puisi berbahasa Inggris berjudul Family.

Family

Unlike friends or lovers
That sometimes fade away
Your family will stick with you
On your toughest days
They know your past
And what to say to make you laugh
They know your weakness
And also your strength..

Family will love and accept you
They know everyone makes mistakes
Always remember, like it or not,
Your family is here to stay
So try to love instead of hate

(Dini 1993)

Masih di tahun yang sama, aku menghasilkan sebuah karya seni yang lumayan “aneh, hasil kontemplasiku tentang kemungkinan diputarbalikkannya waktu. Waktu itu mungkin aku rindu masa kecilku dan bosan menjadi seorang anak perempuan di pertengahan usia. Usia antara anak ingusan dan anak remaja. Usia antara anak yang belum becus mengurus diri sendiri dan sudah mulai mengenal cowok ganteng di sekolah.:) Puisiku ini berjudul My Childhood

My Childhood

If only it is possible
I don’t mind at all
Turning back time
To that glorious moment

When crying,
I cried on my mom’s shoulder
When speaking
I spoke glowingly so everyone hear my voice
When playing,
I played among the pouring rain
And everyone saw me like I were insane

If only it is possible
I don’t mind at all
To hold back life
Cause it’s just too good to let go
Or just too perfect to let forget

But life is too short to hold back
And time is too far to reach out
That is why I said
“…and if only it is possible…”

(Dini 1993)

Lepas dari benar atau tidaknya puisi-puisi tadi dari unsur-unsur ketata-bahasaan Inggris yang kompleks, aku bangga dan senang karena “berhasil”, walau dengan tertatih-tatih, menciptakan tulisan-tulisan pendek berbahasa Inggris tersebut.
Sekitar 6 tahun berselang baru kemudian ku temukan karya-karya berikutnya. Namun 6 tahun kevakuman itu, bukan berarti aku sama sekali tidak menulis. Aku tetap menulis walau hanya berupa tulisan di diary yang hukumnya wajib ada. Tanpa sebuah diary, seorang introvert seperti aku bisa sakit jiwa. Diary ibarat teman curhat yang punya telinga tujuh dan semuanya tersedia untuk kita. Diary juga teman curhat yang tidak usil dan meneruskan curhat kita kepada yang lain. Dia adalah teman yang amanat dan dapat dipercaya.
Tahun-tahun aku absen menghasilkan karya yang terdeteksi adalah ternyata tahun-tahun di bangku Sekolah Menengah Atas. Hmmm...masih terukir jelas apa saja kiprahku di masa SMA. Sebenarnya aku tidaklah absen. Malah aku aktif menghasilkan puisi-puisi berbahasa Inggris. Mungkin jumlahnya puluhan buah. Aku punya semacam teman berbalas puisi yang sampai sekarang masih kuingat namanya. Yusak Darongke. Jadi ketika aku menulis puisi di kelas, maka pada jam istirahat aku akan mengantarkan puisiku itu ke kelasnya. Dia akan membalas puisiku itu dan menunggu hingga jam istirahat ke dua datang. Di jam itu, dia akan menghampiri kelasku dan menyerahkan puisinya. Sungguh sangat romantis. Kegiatan itulah yang maksudku sangat “nyeni” dan romantis. Sedangkan hubungan kami berdua tidak lebih dari seorang sahabat yang sama-sama senang menulis.

Di masa awal perkuliahan, aku terganggu oleh kegiatan brutal ala militer yang tak berfaedah sama sekali. Oleh beberapa mahasiswa senior yang haus kekuasaan, kegiatan ini mengasyikkan untuk unjuk gigi. Kegiatan ini bernama OSPEK, dan kegiatan inilah yang aku ulas di tulisan-tulisanku berikutnya. Tidak hanya berupa tulisan, aku juga mengumpulkan artikel-artikel yang berkaitan dengan praktek perploncoan dan membukukannya. Bukuku itu malah sempat dipinjam para aktivis kampus guna dijadikan suporting document untuk memberantas OSPEK di almamaterku.

Melaksanakan OSPEK dengan fisik, jelas mengundang resiko. (Orang awam pun mengerti). Hal ini sudah diantisipasi oleh segenap panitia OSPEK berminggu-minggu sebelum OSPEK terselenggara, dalam rapat-rapat persiapannya. Tetapi ketika ternyata resiko itu terjawab dan korban jatuh, dimana sikap ksatria mereka, yang mereka tunjukkan di setiap demo-demo?
Harian Kompas 7 September 1999 “..tetapi pada panggilan pertama, belum ada mahasiswa yang bersedia datang”.
Adakah indikasi mereka akan bertanggung jawab? Belum ada kejelasan siapa pelaku yang paling bertanggung jawab hingga detik ini.

(Dini 1999)

SK No. 022/1971 tanggal 22 Februari 1971 dikeluarkan. Ketika itu menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bapak Mashuri. Isinya melarang segala bentuk mapram di PTN dan swasta..
Itu 28 tahun yang lalu. Sekarang diperkenalkanlah OSPEK (Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus), yang katanya mengenalkan mahasiswa baru dengan lingkungannya, sarat dengan kegiatan-kegiatan berbau intelek, diskusi, debat, dan lain-lain. Tetapi dalam pelaksanaanya, 40% praktek perpeloncoan.
Haruskah OSPEK disertai perpeloncoan? Warisan komunnis ini begitu dipuja dan diagung-agungkan. Sedang dalam era serba modern dan hightek ini tidak segelintir orang pun di Eropa sana berminat untuk melestarikan kegiatan ini. Mereka satu langkah lebih maju dan tidak punya banyak waktu untuk hal-hal seperti itu. Kok malah kita begitu ngotot mempertahankannya?
(Ini adalah pengalaman pribadi penulis) Seorang mahasiswa panitia OSPEK dengan ekstrimnya berkata “kalau OSPEK mau dibubarkan, saya pilih Universitas ini dibubarkan! Saya yakin begitu OSPEK dibubarkan, adik-adik 3 atau 4 tahun lagi bakal demo ke gedung DPR dan ngemis-ngemis minta OSPEK diberlakukan lagi.”
Penulis dan mahasiswa baru lain yang pada waktu itu tengah menjalani sebagian “siksaan” sempat bingung, mana yang sebenarnya sang kakak bicarakan dan bela mati-matian? OSPEK nya kah atau perpeloncoan yang bagi mereka mengasyikkan itu?. Kalau ternyata OSPEK murni, berbahagia sekali hati ini atas niatan yang luhur itu, dan menghargainya tentu saja.
Di lain hari, seorang pembantu rektor di tengah teriknya siang, di lapangan terbuka ketika membuka acara yang boleh dikatakan paska OSPEK tingkat fakultas berkata (kurang lebih seperti ini), “semua yang kalian rasakan ini belum ada apa-apanya…(disusul teriakan-teriakan setuju para senior). Bapak dulu merasakan lebih dari ini!”. Bapak yang dikenal “sahabat” para mahasiswa ini lalu bercerita bagaimana beliau disuruh push up, skot jump, berjalan di atas genangan oli, merunduk di bawah kursi, dan bermacam-macam siksaan lain.
Sebelumnya di harian local tanggan 2 September, Bapak yang sama berkomentar dengan tegas, “kami telah membentuk tim pemantau agr kegiatan OSPEK tidak diwarnai dengan perpeloncoan”. Nah lho!!!
Memang mahasiswa di era baru ini tengah di atas angina. Terwakilkan dengan sederet baris dalam sebuah puisi : ‘Mahasiswa takut pada dosen, dosen takut pada dekan, dekan takut pada rektor, rektor takut pada menteri, menteri takut pada presiden, dan presiden takut pada mahasiswa’.
Semua yang mereka lakukan dengan atau tanpa persetujuan dosen/dekan/rektor adalah benar dan mutlak.
Bagaimanapun OSPEK ditambah perpeloncoan dilarang, akan ada beratus-ratus mahasiswa senior yang siap membela dan berpuluh dosen dan dekan tak berdaya. Dan seakan tahu akan hal tersebut, rektor Universitas pun berkata “hal-hal yang terjadi di kegiatan OSPEK tingkat fakultas di luar tanggung jawab pihak Universitas”.
Uraian ini akan ditutup dengan perkataan seorang kakak senior yang penulis lupa akan namanya. “Kampus ini milik kami, Dek! Tanpa kami mau apa mereka. Siapa yang nggaji mereka!”.
Wallahu alam bisawab.

(Dini 1999)

Di tahun yang sama rupanya aku menemukan belahan jiwaku dan menulis puisi tentangnya. Tentang kegundahan hatiku yang mempertanyakan arti kata jodoh.


Can I ask question?
To my busy God
Me and my honey,
Are we two peas in a pod?
Can this be love
That I feel?
I ask you
Can this be real?
The feeling of true
And deeper meaning
Can sometimes be
A bit deceiving
Hold together our heart and bond
Keep us going strong
Help our mind, soul and love
Keep us singing our song
Now I’m going to end this poem
Singing of our own love song
But can I ask a question
To my busy God?
Me and my honey,
Are we two peas in a pod?

(Dini 1999)


Crush on You


I’ve seen guys come and go
Drove by, stayed long or walked over me
Like the stars twinkling among the clouds
Some are shining, and some are not.

I’ve seen guys come and go
With their various kind of color
Like the color of rainbow I’ve seen once
Some are attracted, but some are not

I’ve seen guys come and go
But never seen like this before
With his good heart right from the start
Hypnotizing me gently and soft

And I talk to my self
“Hey, I’ve got crush on you!”

(Dini 2001)


God,
I’m flirting with a guy I shouldn’t be with
We’re laughing, smiling, we’re counting stars,
We’re dreaming, hoping, we’re sharing things
And I’m now wondering how a fool I could be
Coz I’m flirting with a guy I shouldn’t be with

Dear God,
And all the laughter and smile we’ve been through
The stories of life we’ve shared
They all failed of remaining me
I’m flirting with a guy I shouldn’t be with

Hey god,
I might have been in love before
But it never felt this strong
I’m flirting with a guy I shouldn’t be with
Coz he’s just too good to be true

(Dini 2001)


Bersyukur bahwa pria ini, yang menjadi inspirasiku dalam berpuisi ini, adalah pria baik hati yang menjadi suamiku sekarang. Dialah bapak dari anak-anakku saat ini, dan selamanya.
Di tahun 2001, aku masih berstatus mahasiswi ketika aku menghasilkan sejumlah cerpen. Aku ingin mencoba peruntunganku dengan mengirimkan beberapa karya ke sejumlah majalah remaja ibukota. Karena itu aku bergiat membuat cerpen. Cerpen-cerpen itu beberapa bercerita tentang romansa, ada juga yang bercerita tentang persaudaraan.



Buku Harian Aku

Buku, udah dua hari kakakku nggak pulang. Aku nggak tahu persis apa maunya. Yang aku ingat, jauh sebelum kakak pergi, mama marah besar sampai pakai lempar-lempar piring segala. Aku nggak pernah lihat mama marah sedahsyat itu. Aku jadi nggak kenal sama dia. Dia seperti bukan mamaku yang aku kenal. Beda banget. Mimiknya waktu itu juga beda. Nggak lembut lagi. Nggak penuh kasih sayang lagi.
Kakakku juga pakai acara banting-banting pintu. Nangis? Pasti. Mama juga nangis. Kakak nepuk-nepuk dadanya keras banget. Aku seperti bisa ngerasain dadanya yang sakit. Aku nggak sengaja ikut meringis. Ikut nangis. Aku cuma nggak tau mesti bikin apa. Aku cuma bisa nonton dari celah-celah pegangan tangga. Bingung. Stres. Semua orang teriak-teriak. Aku takut banget waktu itu. Ngeri.
Hari itu suasananya muram banget, Buku. Aku jadi nggak tahan di rumah. Mau pamit pergi, takut ngomong. Mau di kamar, pikiranku ke luar kamar. Mikir, mama ada dimana? Kakak ada dimana? Apa mereka udah baikan. Hari itu seperti lama habisnya. 24 jam jadi kaya 24 tahun. Sunyi. Mati. Sepi. Aku cuma bisa mikir, sampai kapan suasana ini lewat.
Hari itu, rasanya seperti bener-bener nunggu besok datang. Siapa tahu besok bakal berbeda dari hari ini. Rumah bisa jadi seperti semula lagi. Penuh tawa. Kakak bakal ngocol lagi. Aku sama mama bisa bikin dia sakit perut lagi. Siapa tahu besok aku bakal bangun pagi dan menertawakan mimpi buruk ini, terus bakal berdoa sama Tuhan nggak dikasih mimpi kaya gini lagi.
Tapi ternyata tetap aja hari itu merangkak lambat. Aku berpapasan sama kakak di dapur. Dia haus. Perkelahian sama mama ternyata bikin haus. Matanya bengkak. Di lain jam, aku berpapasan lagi sama mama. Mama nggak ngomong apa-apa. Matanya ngeliat aku, seperti memohon maklum.
Buku…buku! Pengen rasanya memeluk mereka berdua, dan kalau bisa nyatuin mereka lagi Duduk satu meja dan tanya-tanya masalah apa yang bikin mereka bertengkar. Ingetin mereka bahwa mereka pasangan terbaik sedunia, bahwa mereka tuh pernah jadi juara Pasangan Ibu Anak Serasi di salah satu majalah wanita. Bahwa aku masih nyimpen majalah itu samapai sekarang, dan nggak akan pernah aku hilangkan.
Sehari setelah kejadian itu, semua tambah berantakan. Harapanku yang bakal bangun pagi dan berharap ini semua hanya mimpi burukku yang konyol, nggak terpenuhi. Semuanya nyata. Semuanya bener-bener terjadi…malah lebih buruk!. Kakakku pergi dari rumah. Aduh, aku sedih banget. Dia itu segalanya untukku. Aku jadi nggak ada temen curhat lagi. Nggak bisa tanya-tanya pelajaran lagi. Nggak ada yang bikin kuncir-kuncir lucu lagi di rambutku. Siapa dong yang bakal nyisir rambutku dan muji-muji rambutku yang item banget ini?
Rumahku yang aku puja-puja sebagai rumah mungil yang nyaman dan akrab jadi rumah mungil yang nggak nyaman dan nggak akrab. Sesek malah!
Buku, aku kangen rumah akrabku ini. Akrab, karena kami yang cuma bertiga ini sering banget berpapasan. Rumah ini memang mungil. Kaya rumah-rumahannya Barbie. Papa dulu memang arsitek yang hebat. Papa suruh aku tinggal di loteng mungil ini. Papa yang kita puja-puja itu, Bu. Papa yang ngasih kamu ke kamu ke aku, Bu. Papa emang pinter ya, Bu. Ngasih buku yang nggak pernah habis-habis, karena ada refill nya di toko. I love you, Bu. Kamu teman setiaku.
Aku kangen papa. Gimana ya papa kalo lihat mama dan kakak sekarang. Pasti sedih banget. Papa ngeliat semua ini nggak ya dari surga sana? Gimana ya mukanya, pasti sedih. Mungkin juga nangis. Papa sekarang gimana ya, Bu. Tambah tua, apa masih seperti dulu pas dia meninggal? Apa kehidupan di luar sana itu mengenal umur? mengenal uban, mengenal keriput, menuakan orang, atau malah memudakan orang. Kalo papa berubah muda lagi…wah! pasti cakep, Bu!. Aku banyak nyimpen foto papa pas muda dulu, Bu. Jadi aku tahu persis kalo dia cakep.
Eh, Bu, ngomong-ngomong aku pernah bilang nggak aku pengen punya pacar kaya papa? :-)
Papa mama memang pasangan yang hebat. Pasangan yang serasi. Makanya lahir anak-anak yang hebat. Ya, aku sama kakakku itu, Bu. Setidaknya kami keluarga yang hebat, hingga saat ini tiba. Aku benci hari ini, aku benci kemarin, aku benci mama dan kakakku. Kenapa sih mereka nggak menjaga hubungan mereka. Hubungan yang udah bikin mama-mama tetangga sebelah rumah iri setengah mati. Yang bikin mama-mama di setiap acara arisan, ngomongin tentang mereka. Kenapa sih pakai bertengkar segala. BENCI, Bu! Apa sih masalahnya.
Hari ini sehari setelah kakak pergi. Jadi udah dua hari. Kangen banget sama dia.
Aku lagi pengen nulis banyak. Kamu nggak apa-apa kan, Bu?. Nggak bosen kan, Bu? Jariku pegel, Bu. Aku juga lapar. Tapi malas ke bawah. Pemandangannya pasti bakal sama. Mama pasti bakal ada di meja makan, sambil nutup mukanya. Kalo nggak mama bakal tidur-tiduran di sofa sambil ngomel kata-kata yang nggak jelas. Mama ngomong apa ya? Aku nggak pernah bisa denger dengan jelas. Kaya menggumam, kadang-kadang malah kaya nangis. Rokoknya kamhbuh lagi. Padahal dulu udah janji sama papa nggak akan ngerokok lagi. Mama nakal ya, Bu? Janji nggak ditepati. Sedih deh ngelihat mama ngerokok. Jelek banget!
Mama sampai kapan ya, Bu bakal gini. Aku kangen deh sama mamaku yang dulu. Mamaku yang tiga empat hari yang lalu. Mama yang wangi, baunya enak. Mama yang ngelus-ngelus rambutku sama bulu si Teddy-buluk. Mama yang suka minta ditemenin ke mall, trus buntutnya ngebeliin aku baju. Ya mama yang kaya mamaku itu, Bu. Kamu tahu kan, Bu. Dia itu kan mamamu juga, Bu??
Bayangin, Bu! Sesingkat itu mama udah berubah banget. Mama kayanya terpukul banget karena kakak pergi nggak pakai pamit. Mama sayang banget sama kakakku, Bu. Ya sama aku juga. Sama papa juga.
Mama dulu juga pernah kaya gini. Dulu pas papa meninggal itu. Tapi, kakakku si penghibur yang hebat. Aku cuma nolong dia. Aku sama dia gotong-royong ngembaliin mama kaya semula lagi. Bisa bikin mama punya semangat hidup lagi. Makanya mama sayaaaaaaang banget sama kakak. Makanya mama sekarang jadi sebegini sedihnya.
Ayo dong, Kak! Pulang dong. Masa nggak kangen sih sama masakan mama, sama senyum mama, sama karpet depan TV yang empuk, sama bantal gede yang di depan TV juga. Sama adikmu ini, sama rambut indahku ini.
Masa kakak nggak pengen ngegendong si Teddy-buluk ini. Dia kangen kakak tuh. Minta dielus-elus bulunya. Kan kakak yang paling hapal daerah kesukaannya, bagian yang bikin dia cepet tidur. Loteng ini kangen diancurin sama kakak, Kak. Aku janji deh, kalo kakak pulang, kakak boleh nge-berantakin lotengku. Aku janji nggak bakal marah, nggak bakal pukul kakak. Beneran janji. Swear disamber geledek! Tapi kakak harus pulang dulu.
Pesawat telpon di rumah ini juga merindukan kakak lho. Dia heran, kok nggak ada Miss Ring-Ring yang menyentuh dia lagi. Yang pakai dia berjam-jam, samapai pulsa telepon membengkak, sampai orang luar nggak bisa masuk karena nada sibuk melulu.
Ntar kita nyewa “Monster Inc” ya, Kak. Aku belum nonton lho, Kak. Padahal temen-temen aku udah pada nonton semua. Aku tengsin nih!. Mana itu film udah lumayan lama lagi. Huh!
Kamu payah. Nonton duluan bareng temen-temenmu. Jahat banget Kakak! Siapa coba yang promosiin film itu ke aku. Sampai pake janji bakal ngajak aku nonton. Janji adalah utang. Kakak bakal aku tunggu sampai pulang, abis gitu kudu langsung nyewaiin aku “Monster Inc”.
Aku barusan nguap, Bu….Tandanya apa, hayo..Udahan dulu ya Bu. Ngantuk nih. Besok kita ketemu lagi. Jangan nangis dong. Aku nggak bakal kasih garis penutup deh, habis aku nulis. Soalnya kalo dikasih garis penutup, tandanya aku bakal nggak ngisi kamu selama berbulan-bulan. Hehehehe..kamu benci itu ya, Bu. Kamu selalu pengen deket aku dan tulisanku ya, Bu. Iya..iya aku juga sayang kamu, Bu! Good night ya. Good night semua. Good night, Bu. Good night, Ma. Good night, Kak. (Kamu dimana sih, Kak! Sebel!
Hai, Bu. Ketemu lagi. Hari ini lebih baik dari kemarin. Selain karena di kelas tadi ulangan umum dibagiin dan aku dapat 9, selain juga karena pas aku tunjukkin mama nilaiku, dia senyum (untuk pertama kalinya selama 2 hari), juga karena (ini yang paling penting, Bu!) kakak nelpon aku dari telpon umum. Ya, ampun, aku teriak-teriak di telpon. Sangking senengnya.
Trus, Bu, Kakak bilang di tangannya dia pegang VCD Monster Inc. Besok bakal diputer di ruang keluarga kita. Manis banget ya dia, Bu? Aku terharu deh. Aku sayang banget sama kakak perempuanku satu-satunya itu.
Mau tahu nggak, Bu, kakak bilang apa lagi? Kakak bakal pulang besok. Yiiipppiiieee! Asyik ya, Bu! Mama bakal senyum lagi, mereka bakal baikan lagi. Hari yang baik. Besok kan ulang tahun mama juga, Bu. Ulang tahun mama kan bertepatan sama hari jadi perkawinan mama papa. Kamu lupa ya, Bu.
Kakak bilang, aku nggak usah takut. Semua baik-baik saja. Kakak nggak mau bilang dia ada dimana. Katanya nggak penting. Yang penting kakak bakal pulang besok dan menyelesaikan semuanya. Dia mau minta maaf sama mama, Bu. Dan tahu nggak, pas aku tanya masalahnya apa, eh dia malah bilang “anak kecil tau apa, sih!”.
Sebel nggak sih, Bu! Aku kan udah 14 tahun. Udah bisa kasih solusi. Prita kemarin tanya-tanya masalah doinya, aku jawab. Trus si Lala nanya masalah makanan yang sehat buat kucingnya, aku jawab sambil aku tunjukkin si Teddy-buluk kita.
Nggak papa deh. Yang paling penting, kakakku (kakakmu juga) pulang. Katanya sih, bakal bawa kue tart juga untuk mama. Bakal ada hadiah kecil yang dia beli dari ngumpulin uang jajannyauntuk kado perkawinan mama. Tapi kata kakak, ini rahasia, Bu. Surprise buat mama. Sekalian menyuap mama untuk maafin dia, katanya.
Gitu ya, Bu, cara orang-orang menyuap? Bukannya pakai amplop, Bu? Hehehe.
Aku nggak sabar nunggu besok datang, Bu. Nggak sabar nunggu gimana suasana rumah. Pasti mengharukan. Pasti bakal ada yang peluk-pelukan. Pasti itu! Aku tau kakakku, Bu. Kakak sayang banget sama mama, Bu. Kakak pasti nyesel udah bikin mama nangis. Udah bikin mama kepikiran sampai berhari-hari. Udah buat dosa ke papa. Iya dong! Kakak tuh kan yang bikin mama kembali merokok. Dia harus minta maaf ke papa juga. Harus!
Lagian aku yakin, Bu. Mana bisa kakak bertahan hidup tanpa sayur asemnya mama! Atau sambel terasi buatan mama. Belum lagi brownies mama yang paling lezat di dunia.
Udah ah, Bu. Ngomong-ngomong tentang sayur asem sama sambel terasi, aku jadi lapar. Mama kembali masak, Bu. Bukankah itu pertanda baik? Mama berarti masih peduli sama perutku!. Bye, Bu. Sampai ketemu besok. Ceritanya bakal indah deh, Bu. Happy Ending. Aku yakin.

(Dini 2001)

Tentang Tia dan Dennis


Tia, gadis itu tersenyum lebar sekali. Ia merasa amat beruntung berada di Kalmar, kota tua yang indah itu, ribuan kilometer jauhnya dari Indonesia. Yang berarti, ribuan kilometer pula dari mama dan papa
Ini pengalaman pertama Tia jauh dari mereka. Tapi ia tidak terlalu merasa khawatir. Tante Sarah benar-benar bisa menggantikan tempat mama. Ia hangat dan sayang kepadanya.
Tia ingat ketika tante Sarah membujuk mama papa, agar mau mengijinkan Tia ikut bersamanya ke Swedia. Tante Sarah bilang, ini bisa menjadi pengalaman berharga buat Tia. Ini juga bisa melatih bakat bahasa inggris Tia. Dan ketika mama papa akhirnya luluh juga, Tia merasa surga jatuh ke pangkuannya.
Tia masih enambelas tahun, tapi semangat berpetualangnya besar sekali. Tante Sarah lah yang paling mengerti itu. Sekali lagi Tia merasa beruntung. Kali ini karena ia merasa, ia adalah keponakan kesayangan Tante Sarah. Bisa saja Tante Sarah mengajak Ayu, atau Dian, atau Sri, atau mungkin Mew. Tapi toh Tante Sarah memilihnya. Tia benar-benar melambung dibuatnya.
Sayang, kali ini Tia menyusuri kota seorang diri. Tante Sarah, seperti hari-hari sebelumnya, sibuk dengan pelatihan jurnalistik bersama teman-teman asingnya di gedung FOJO, Institute of Further Education for Journalisr. Kemarin, Tante Sarah bersama seorang wartawati lokal sempat mengajak Tia berkeliling. Karena itulah Tia sedikit hapal dengan lika-liku jalan ini.
“Cuma jalan ini, jalan raya Nora Vagen. Mungkin aku harus mencari teman yang bisa memanduku menjelajah seluruh Kalmar.” Tia membatin.
“Tidak bisa terus menerus mengharap Tante Sarah. Dia terlalu sibuk!” keluhnya.
Tia merasa, ia jatuh cinta pada Kalmar, kota tua yang indah. Rumah-rumah tradisional yang tua dipertahankan. Tidak seperti di Jakarta. Jendelanya pun dihiasi dengan deretan pot kembang dengan bunga-bunganya yang bermekaran. Malah ada yang memajang boneka, lampu hias, dan foto-foto keluarga. Macam etalase saja.
Tia tak kuasa untuk tidak melongokkan kepalanya, setiap kali melewati rumah-rumah cantik itu. Persis sekali dengan rumah-rumahan barbie punya Eka, tetangganya.
****
Dennis merasa penat dan lelah. Seharusnya ia tadi menerima saja tawaran Eric, saudara ayahnya, untuk naik mobil dari Stockholm. Tapi toh ia memilih menjalani 2 jam perjalanan bersepeda yang panjang dari Stockholm ke kota masa kecilnya ini, Kalmar. Ia sangat senang mengendarai sepeda. Berada di atasnya memberinya kebebasan. Terutama pada saat angin menerpa wajahnya.
Libur musim panas Dennis sebentar lagi usai. Saatnya bertemu dengan teman-temannya, buku-buku, dan guru-gurunya yang baik-baik.
Sekarang hari beranjak sore. Dennis sedang menyusuri jalan raya Nora Vagen, dan gedung FOJO berdiri tegak di situ. Dennis selalu menolehkan kepalanya, setiap kali melewatinya. Ini bisa jadi bentuk penghargaannya kepada gedung itu. Ia sangat berhasrat untuk menempuh ilmu jurnalistik di situ, kelak, ketimbang di Kalmar University.
Membelok ke kiri, Dennis memacu sepedanya ke pusat kota, Kvan Holmen. Rasa penat mendorongnya melepas lelah di sebuah bangku panjang, di alun-alun, di depan balai kota.
Kedatangannya disambut tatapan mata hitam seorang cewek Asia. Cewek itu mengikuti gerak-geriknya hingga ia duduk, sedikit jauh darinya. Hanya sebentar, sebelum si Asia kembali hanyut mengagumi keindahan warna-warna terakota menara sebuah katedral tua.
Dennis sering melihat cewek-cewek dari China atau Hongkong yang bermata sipit dan berkulit terlalu pucat. Tapi cewek yang duduk di sebelahnya berwajah imut, bermata sempurna dan berambut khas Asia. Hitam dan mengkilat. Kulitnya juga bagus, coklat terbakar matahari.
Dennis tersenyum. Dia mengira-ngira apakah si Asia bisa berbahasa Inggris.
****
“How old is this building, I wonder?” Tia berbicara sambil menoleh ke cowok bule di sebelahnya.
Mata cowok itu berwarna cokelat, serasi dengan rambut brunette nya.
“Kalau dia penduduk sini, dia akan tahu jawabannya.” Kata Tia dalam hati.
“Oh, sangat tua. Saya tidak tahu persisnya.” Dennis menjawab jujur.
“Yang jelas, bagi kami, warga Kalmar, keindahan dan nilai suatu bangunan sangat ditentukan oleh usia dan keasliannya. Selagi mungkin, kita berusaha mempertahankan unsur-unsur sekecil apapun. That’s our pride!” Sambung Dennis.
Dennis menikmati mata bulat cewek itu, yang menyimaknya dengan antusias.
“Anyway I’m Dennis”. Dennis menjabat tangan Tia dengan hangat.
“Tia..” Jawab Tia pendek.
Selanjutnya Tia bercerita, bagaimana dia kagum akan pohon-pohon Oak tua yang ditemuinya di pinggir jalan. Juga rumah-rumah mungil nan lucu, yang menjadikan jendela sebuah etalase. Apartemen modern, dengan balkonnya yang dihiasi bunga dalam pot aneka warna, dan hal-hal lain yang menarik perhatiannya.
Dennis menanggapinya dengan sikap tubuh yang menyenangkan. Ini membuat Tia nyaman. Dennis juga bercerita tentang Stockholm, kota tua yang baru saja dikunjunginya.
“Stockholm pasti sama membosankannya dengan Jakarta”. Tia mereka-reka dalam hati.
Sore itu seperti singkat bagi mereka berdua. Tiba saatnya untuk beranjak pulang. Keduanya berjalan beriringan, menertawakan kejadian-kejadian kecil yang mereka temui sepanjang jalan. Ada anak kecil yang merengek ke ibunya, karena es krim di tangannya telah habis. Si ibu menggerutu sembari mengibas-ngibaskan rok anaknya yang belepotan es.
Mereka juga singgah ke sebuah toko dengan interior cantik yang membuat Tia kagum. Dennis membelikan Tia sebuah peta negara itu, dan peta wisata Kalmar.
“Gee, thank you Dennis. That’s very kind of you!” Tia mengucap terima kasih.
Akhirnya Dennis menunjuk sebuah rumah. Tia jadi tahu rumah Dennis. Letaknya tidak terlalu jauh dari tempat Tia dan rombongan teman-teman Tante Sarah menginap. Mereka berjanji untuk bertemu lagi, sebelum berpisah. Dennis menjanjikan Tia, tempat-tempat wisata lain yang tak akan ia lupakan seumur hidupnya.
Malamnya, Tante Sarah melihat keponakan kesayangannya itu tersenyum-senyum di dalam tidur. Tia kelihatan lelah sekaligus bahagia. Tante Sarah mengira-ngira mimpi apa Tia dalam tidurnya.
****
Sudah bisa dipastikan, pertemuan-pertemuan selanjutnya susul menyusul. Dennis punya begitu banyak cerita lucu untuk dibagi. Tia selalu berhasil dibuatnya tergelak.
Dennis juga berlaku sebagai tuan rumah yang sangat menyenangkan. Dibawanya Tia ke Gamla Stan, kota tua yang dulunya adalah pusat kebudayaan abad pertengahan di Kalmar. Dennis memahami “kehausan” Tia akan hal-hal yang eksotik.
Terkadang mereka hanya duduk-duduk sambil menghabiskan sore di bangku taman, menghadap ke pemandangan perairan selat Kalmar Castle yang indah di sebelah kanannya.
Dennis merasa puas, kalau Tia berdecak kagum.
Di suatu sore, ketika mereka sedang duduk-duduk di bangku taman, dengan mimik serius Dennis berkata-kata, “Jag älskar ditt leende!”
Tia melotot kesal ke arah Dennis, “In English please, Dennis. Kamu kan tahu aku buta dengan bahasamu.”
“Saya akan dengan senang hati mempelajari bahasamu, kalau kamu mau belajar bahasamu.” Kata Dennis sungguh-sungguh.
Sejak saat itu mereka saling bertukar bahasa. Tia mulai menyapa Dennis dengan salam-salam kecil di pagi hari, “God morgon, Dennis.” Atau “God middag, Dennis.” Dengan susah payah Tia mengucapkannya, dan Dennis sangat menikmati wajah kesusahan Tia saat itu.
Dennis tidak kalah semangatnya denga Tia. Terkadang tidak segan-segan ia mengeluarkan pujian-pujian yang membuat senyum Tia mengembang.
“Tia punya rambut yang bagus.”
“Tia kulitmu sempurna.”
“You know Tia,” kata Dennis di suatu malam, “apa arti ucapan saya waktu itu, ketika saya pertama kali bicara bahasa Swedia ke kamu?”
“Saya suka lihat senyummu.” Dennis berbahasa Indonesia dengan terpatah-patah.
Tia geli dengan senyum bangga Dennis yang merasa berhasil mengucapkannya.
****
Tia merasa aneh. Ada sesuatu yang menyenagkan meliputi perasaannya. Bukan karena keberadaannya di kota ini, tapi karena Dennis. Hatinya dipenuhi puja-puji tentang Dennis. Dennis yang lucu, Dennis yang pipinya berbintik-bintik merah, Dennis dengan keantusiasannya mencoba mengucapkan kata-kata dalam bahasa Indonesia, Dennis yang dengan sabar menjawab pertanyaan-pertanyaannya. Dennis, teman asing pertamanya yang bersahabat.
Tia mengira-ngira, apakah ini cinta pertamanya. Kalaupun benar, Tia menyesalkan, kenapa cinta pertamanya harus berada ribuan kilometer dari Indonesia. Dan dengan waktu pelatihan Tante Sarah yang makin mendekati ujung di Kalmar, Tia merasa sedih yang teramat sangat.
Tia jadi membayangkan dirinya yang kelak seperti Tante Sarah, menjadi seorang jurnalis. Kelak, ia akan mengulangi perjalanan ini, menulis yang indah-indah tentang Kalmar, dan tentu saja, kembali menemui Dennis.
Di kamar Tante Sarah yang nyaman di suatu sore, Tia duduk termangu-mangu. Ia memilin-milin rambutnya yang hitam.
“Does he feel the same?” katanya setengah berbisik.
Tia merasa dirinya bodoh sekali, jatuh cinta pada cowok yang mungkin hanya menganggapnya sebagai teman baru yang menyenangkan. Tidak lebih. Siapa yang tahu, mungkin Dennis sudah punya pacar yang cantik yang berambut pirang dan mata hijau yang indah.
****
Dennis pernah pergi berkencan sekali dua kali. Tapi cewek-cewek yang ia kencani tidak secerdas dan seceria Tia. Tia punya sence of humour yang hebat. Tia, cewek Asia pertama yang pernah dekat dengannya.
“....and she really gives me that “new colour”! tulis Dennis suatu ketika, di sebuah email yang ditujukan untuk temannya di Goteborg.
Dennis sebenarnya bukan cowok yang percaya dengan “love at a first sight”. Namun 20 hari bersama Tia benar-benar mengubah anggapan Dennis tentang konyolnya “love at a first sight”, cinta pada pandangan pertama.
Sejenak lamunannya melayang ke hari ketika ia pertama kali melihat Tia. Ia tersenyum kecil.
Sedetik kemudian ia kembali murung. Besok adalah hari terakhir Tia di Kalmar. Dennis diam-diam bertekad ingin membuat kejutan kecil untuk Tia. Muncul di rumah Tia, menginap, dan ikut melepas kepergian rombongan itu di airport.
Dibayangkannya, teman-teman tantenya Tia pasti heran, ada cowok enambelas tahun yang turut melepas kepergian mereka. Dennis mengulum senyumnya.
Di airport, Dennis akan bilang bahwa ia ingin belajar jurnalistik di FOJO, agar bisa seperti Tante Sarah. Ia akan berkunjung ke Indonesia dan mungkin menulis tentang Jakarta. Mereka akan bertemu lagi ketika mereka sudah berumur duapuluh-an. Dan Dennis membayangkan Tia sudah tumbuh menjadi wanita dewasa yang cantik.
Di airport, Dennius juga akan memberikan Tia alamat emailnya, menyuruh Tia berjanji untuk menulis email untuknya, dan mungkin memberikan Tia kecupan kecil tanda perpisahan.
Sore ini, Dennis tidak sabar menemui Tia. Ia bergegas. Selagi bisa, Dennis ingin menghabiskan sore yang indah ini, sampai malam berbintang gemintang nanti bersama Tia.

(Dini 2001)

Naksir

Putri menyandarkan tubuhnya ke senderan kursi kayu itu. Dari posisi duduknya kini, dengan leluasa ia bisa menikmati wajah manis Dimas. Putih, bersih, rambut Dimas yang hitam, seperti tampak selalu basah, meski ia tidak membuatnya seperti itu. Biasanya Dimas sedang keringatan, atau habis mengambil air wudhu. Dua kondisi ini yang paling dinikmati Putri. Rambut Dimas yang setengah basah itu akan tampak makin hitam berkilau, kontra dengan wajahnya yang putih bersih. Alisnya juga akan kelihatan lebih tegas.
“Hmmmm....sempurna banget untuk seorang teman sebangku...” Putri kerap kali mensyukuri “keberuntungannya” itu. Ia ingat ketika wali kelasnya pertama kali memasang-masangkan teman-teman Putri. Menyatukan yang cewek dengan yang cowok. Ketika nama Putri disebut menyusul nama Dimas, Putri menutup matanya bersorak dalam hati. Konyol. Tapi tidak ada yang melihat. Putri yakin itu. Teman-teman sekelasnya sibuk dengan urusan sendiri-sendiri, berteriak kesal atau bersorak genbira. Putri termasuk yang bersorak gembira dan tentu saja diam-diam berterima kasih pada wali kelasnya itu.
Putri mengulum senyum. Dimas tampak serius menyimak pelajaran Ibu Sudi. Ibu Sudi mengajar Matematika di SMU nya itu. Putri tidak pernah kesulitan menangkap pelajaran Bu Sudi. Berbeda dengan Dimas. Maka, kapanpun Dimas butuh bantuannya dengan semua soal-soal Matematika yang memusingkan itu, Putri dengan senang hati membantunya.
Putri menikmati saat-saat Dimas menatapnya dengan penuh kekaguman, setiap kali ia berhasil mengerjakan soal-soal itu. Dan pada saat itu, biasanya Dimas akan mencubit hidungnya dan dengan bercanda mengajaknya bertukar otak. Biasanya Putri akan tersenyum tersipu-sipu, sambil membetulkan kacamatanya.
Huh. Putri sebenarnya benci dengan dirinya sendiri yang selalu gagal menyembunyikan perasaannya terhadap Dimas. Putri benci dengan senyum tersipu-sipunya yang konyol. Putri benci dengan dirinya yang tidak berani berlama-lama menatap mata Dimas. Dan Putri benci dengan gayanya apabila ia merasa salah tingkah. Membetulkan kacamatanya yang sebenarnya tidak melorot.
“Putri! Coba kamu maju kesini! Kerjakan nomor lima!” Suara alto Bu Sudi menyentak Putri.
Putri setengah mati mengatasi kekagetannya. Jantungnya berdegup. Tatapan mata teman-temannya melengkapi suasana hari itu. Putri menyibak poninya yang jatuh ke dahi.
Dimas menatapnya penuh tanya.
“Aduh tega banget sih ibu.” Putri mengumpat dalam hati.
Dengan menyeret kakinya, Putri mengayunkan langkahnya ke depan kelas. Ia butuh waktu satu menit untuk berpikir sebelum mengerjakan soal itu. Tidak sulit. Putri mengoreksi jawabannya sekali lagi sebelum kembali ke tempat duduknya.
“Putri! Siapa yang suruh kamu duduk?” Bu Sudi berteriak lantang.
Putri menatap tidak berdaya ke arah bu Sudi.
“Apa yang kamu perhatikan dari tadi? Yang jelas, sepertinya kamu sama sekali bukan memperhatikan Ibu ngajar!”
“Mmmm, saya membaca buku ini, Bu!” Putri berkata sambil mengangkat buku apa saja yang tergeletak di depannya. Jawaban konyol memang. Putri menyesalkan jawabannya sendiri.
“Ooo, jadi bukumu itu tadi nempel di wajah Dimas ya? Dari tadi Ibu perhatikan kamu melihat Dimas, Put!”
Putri tertunduk lemas. Ia memejamkan matanya kuat-kuat. Didengarnya seisi kelas menertawakannya. Diliriknya Dimas yang sedang menatapnya prihatin. Dirasakannya tangan Dimas menyentuh tangannya di bawah meja. Lebih seperti sentuhan yang bermaksud menenangkan hati seorang adik. Lembut.
Bagi Putri, itu momen kecil yang manis, yang cukup membuatnya melupakan peristiwa sebelumnya.
****
Pelajaran telah berganti. Putri lega. Pak Cody telah setengah jam menjelaskan geografi di depan kelas. Putri menatap lurus ke depan. Tapi pikirannya melayang.
“Put..” Dimas membisikkan namanya setelah sekian lama mereka membisu. Mata mereka mengawasi setiap gerakan Pak Cody di depan.
“Put..” Dimas sekali lagi memanggilnya.
“Mm..” Jawab Putri pendek.
Putri cuma bisa berharap Dimas tidak akan membahas kejadian tadi.
“Kamu tahu nggak Lili anak sebelah?”
“Aduh!” Teriak Putri dalam hati. Ia benar-benar tidak berharap mendengar pertanyaan seperti itu. Putri menyentakkan nafas.
“Tahu nggak Put? Menurutmu gimana?”
“Kenapa sih dia nggak nanya, Sabtu malem ada acara nggak, Put? Atau, mau nggak kamu jadi pacarku, Put?”
“Lili tuh imut ya Put? Coba kamu perhatiin pas dia lagi senyum. Mirip banget sama yang main Bridget Jones’ Diary, cuma versi agak kurusan!” Dimas berusaha berbisik dengan keras.
“Lili yang pacarnya Agung itu Dim? Yang ngelaba lagi ama anak SMU sebelah itu?” Putri berbisik lebih keras. Memastikan Dima mendengar setiap perkataan dari mulutnya.
“Ah, masa sih Put? Kamu yakin Put??” Dimas membelalakkan matanya dan mati-matian menjaga sikap tubuhnya.
“Yeeee..nggak percaya lagi!” Bisik Putri.
Dimas menarik nafas. “Ya udah deh.” Sekarang mata Dimas bergerak ke kiri, mengikuti gerak-gerik Pak Cody. “Kalo Tia gimana, Put?”
“Huff..Please..ampe kapan ya, dia bakal nyebuti nama-nama cewek di depanku?” Keluh Putri dalam hati.
“Put!!” Dimas mengira putri tidak mendengarnya.
“Iya iya aku dengar!” Putri berteriak sedikit kesal. Dina yang duduk di depan mereka sampai menoleh dan melotot marah, terganggu.
“Tia tuh lumayan baik. Lebih baik daripada Lili. Tapi manjanya minta ampun. Maklum anak tunggal.” Putri menatap kosong ke depan. Kalau Dimas bisa membaca mimiknya, Putri yakin itu adalah mimik yang dingin tanpa ekspresi.
“Sorry Put bikin kamu bosen!” Dimas memandang ke arahnya sebentar, sebelum kembali menatap papan tulis.
Putri membetulkan letak kacamatanya.
“Gimana ya caranya bilang ke Dimas kalau aku nggak seneng dia nyebutin nama-nama cewek seisi sekolah ini. Gimana caranya supaya dia sadar kalo aku naksir mati ma dia..” Putri benar-benar miskin pengalaman.
“Put, Bu Sudi tadi bener ya?”
Lamunan Putri terputus dengan pertanyaan Dimas yang tidak disangka-sangkanya.
“Bener gimana?” Putri mengutuk dirinya sendiri yang berlagak bodoh. “Sorry Dimas..”
“Kamu ngeliatin aku seberapa lama sih tadi?”
Itu pertanyaan terakhir Dimas yang tidak dijawabnya hingga pelajaran Pak Cody berakhir. Dimas pun nampaknya membiarkan Putri tidak menjawabnya.
Dimas tidak memaksanya. Putri hanya ingat, Dimas menoleh kepadanya lama dan diam. Putri tidak mampu membalas tatapan itu. Dengan susah payah ia memaku pandangannya ke depan kelas. Tapi dari sudut matanya ia masih bisa melihat Dimas menatapnya dan menunggu.
****
Dimas berbaring di kamarnya yang nyaman. Matanya menatap langit-langit kamarnya yang damai, putih. Dicarinya posisi yang nyaman. Diletakkannya kedua tangannya menyangga kepalanya. Bantal itu memang sudah cukup empuk. Tapi kedua tangannya menambah nyaman posisinya.
Dimas memikirkan teman sebangkunya yang pintar itu. Dimas membuat daftar sifat-sifat Putri yang dia suka. Pintar, cerdas, baik, ramah, supel, jujur, polos, lugu, apa adanya, menyenangkan, ringan tangan.
Dimas membayangkan wajah Putri yang imut, gigi yang semnpurna, senyum yang ramah, hidung yang mungil yang sering dicubitnya, bagaimana Putri mengatasi soal-soal itu, cara mereka berpandangan. “Hmm..sempurna banget untuk seorang teman sebangku.”
“Apa dia nggak sadar, dia yang mirip Renee Zelweiger. Bukan Lili. Apa dia nggak sadar dia yang imut. Bukan Lili, bukan Tia, bukan siapa-siapa”
Dimas teringat aksinya tadi, ketika ia menanyakan satu persatu cewek-cewek anak kelas sebelah pada Putri. Waktu itu Dimas mencoba membaca mimik Putri. Ia berharap Putri bakal cemburu, marah, sedih, atau apapun yang bisa membuat Dimas melonjak gembira. Tapi ia gagal. Tidak ada perubahan. Wajah Putri waktu itu tenang sekali.
Dimas meraih sebuah novel John Grisham yang terkelungkup di halaman 105. Diletakkannya di depan matanya. Tapi tidak satu kalimat pun yang terbaca olehnya.
Dimas kembali mengingat-ingat kejadian itu lagi. Dimas tersenyum kecil. “Apes banget kamu Put. Ketangkep basah pas ngeliatin aku.”
“Apa yang kamu perhatikan dari tadi Put?”
“Mmmmmm, saya membaca buku ini Bu!”
“Ooo, jadi buku itu tadi nempel di wajah Dimas ya?”
Senyum Dimas makin lebar. Dia tertawa dalam hati. “Putri...Putri..” gumamnya. Dimas ingat ketika ia meraih tangan Putri di bawah meja. Dimas ingin Putri tahu bahwa ia care, dan bahwa Putri tidak pernah sendiri.
Dimas sudah berusaha menunjukkan perhatiannya selama ini ke Putri. Dimas selama ini hanya berharap Putri menangkap semua itu. Kekagumannya, perhatian-perhatian kecilnya, ekspresi wajahnya, matanya. Dimas jadi tidak habis pikir, apa Putri tidak bisa menangkap semua itu. Apakah perlu semacam kalimat untuk menunjukkan ketertarikannya. Apa semua cewek seperti itu. “Malang benar nasib cowok-cowok pemalu seperti aku.”
Dimas menggerutu dalam hati. “Do I have the gut to tell her I like her? If so, this will be my first experience!”
“Apa kejadian di kelas tadi udah bisa nunjukin kalo Putri naksir aku juga? Seberapa lama ya Putri ngeliatin aku? Ngapain juga dia ngeliatin aku? Ha..ha Putri, kamu naksir aku juga ya?! Asyik banget kalo bener gitu..”
Dimas tersenyum-senyum sendiri. “Malam ini Putri ngapain ya?”
****
“Halo, malam. Bisa bicara dengan Putri ya?” Dimas memutuskan untuk menelpon Putri.
“Malam. Ya, ini Putri.” Putri seperti mengenali suara itu. Ia ragu-ragu.
“Putri ya? Lagi ngapain Put? Aku ganggu nggak nih?” Dimas memuja suara lirih Putri. Mendengarnya saja sudah cukup menyenangkan.
“Ini bener Dimas ya?” Putri penasaran. Dimas belum pernah menelponnya sekali pun. Untuk memikirkan Dimas bakal menelponnya pun, Putri tidak pernah.
“He-eh” Dimas menjawab pendek.
Untuk selanjutnya diam. Dimas dan Putri tidak tahu mesti membicarakan apa. Jantung masing-masing berdebar.
“Put, aku boleh main ke rumah nggak?” Dimas tidak bisa memikirkan kata-kata lain selain itu.
Putri di seberang sana mengangguk cepat, sebelum ia menyadari betapa konyolnya tindakan itu.
“Sure Dim. Why not!” Putri merasa senang sekali. Debaran jantungnya berpacu dengan keantusiasannya membayangkan Dimas dan dia duduk di ruang tamu rumahnya. Berbicara untuk pertama kalinya, di luar suasana sekolah.
“Apa ini yang namanya diapelin?” Putri bertanya dalam hati.
Ok, Put. Aku ke sana sekarang ya...ampe ketemu!”
Belum sempat Putri menjawab, Dimas di sana sudah membanting telponnya.
Putri jadi mengulum senyum. Keterburu-buruan Dimas tadi benar-benar dinikmatinya. Putri cepat beranjak menuju kamar mandi. Ia ingin tampil seharum mungkin.
Dimas di sana mematu-matut dirinya di depan kaca. Deodorantnya habis. Tidak masalah. Diraihnya kunci motor dari meja belajar. Ia inginmengawali semuanya dengan lancar. Dalam hati ia berdoa. Putri harus jadi milikku.

(Dini 2001)


Cerita tentang Eca

Taman kota. Hujan baru saja reda. Ini suasana yang paling disenangi Rea. Sore itu, lampu-lampu jalanan mulai dinyalakan. Cahayanya membias sembur di jalan-jalan aspal yang mengkilat terselubung air. Di bagian jalan yang agak lebih kering, pemandangannya lebih bagus lagi. Cahaya lampunya menjadi lebih atraktif memantul. Pohon-pohon terlihat kuyup tapi segar. Malah Rea merasa, air hujan telah menyumbang sedikit warna-warna. Menambah warna hijau daun menjadi lebih hijau, membuat warna abu-abu di jalan raya menjadi kemilau, abu kehitam-hitaman.
Rea baru dua minggu berada di kota hujan ini, tapi kota ini seperti mampu menghipnotis Rea. Liburan sekolah kali ini sangat mengesankannya. Rea jadi menyesali hijrahnya mama papa dari kota ini semasa awal pernikahan mereka. Mereka hijrah untuk kehidupan yang lebih baik. Begitu selalu kata papa.
“Mbak Rea!” Lamunan Rea terhenti oleh suara kecil adiknya. Novan adalah adik semata wayang Rea. Novan kecil, terlalu cepat tumbuh. Begitu selalu keluh mama. Novan tumbuh lebih cepat ketimbang umurnya. Semua pertanyaan-pertanyaan yang aneh-aneh kerap keluar dari mulut kecil Novan. Ini mungkin yang membuat mama kewalahan menghadapi adiknya itu.
“Novan sudah puas mainnya, Mbak. Pulang yuk. Besok kesini lagi!”
Novan adik rea yang berusia enam tahun susah payah menengadahkan kepalanya berupaya menatap mata Rea.
Rea duduk di salah satu bangku taman dan memangku Novan.
“Udahan??” Rea pura-pura kaget. “Katanya jagoan, kok jam segini udah capek?”
“Yee, Mbak Rea, Eca udah pulang sih, jadi Novan nggak ada teman main.” Teriak Novan membela diri.
Rea menggeleng-gelengkan kepalanya. Bukan sekali ini ia mendengar Novan menyebut nama Eca, terutama semenjak kedatangan mereka di kota ini. Rea jadi mengira-ngira apakah semua anak kecil punya teman khayalan. Apakah ia dulu juga punya teman imajinasi seperti si kecil Novan.
“Mbak Rea! Ayo dong cepetan.”
Rea mencubit gemas pipi adik satu-satunya itu.
“Bilang dadah dulu dong sama Eca” Kata Rea.
Dengan patuh, Novan melambaikan tangannya ke arah pepohonan di seberang kursi taman tempat mereka duduk.
Sekali lagi Rea menggeleng-gelengkan kepalanya, penuh maklum. Rea tidak melihat ada anak kecil di depan mereka.
Digenggamnya tangan Novan erat-erat. Berdua mereka berjalan beriring ditemani celoteh riang Novan.
****
Hari ini, di jam yang sama, Rea kembali berada di taman kota. Mama kembali menugaskan Rea menemani Novan yang merengek-rengek minta ke taman ini. Sebenarnya Rea enggan, tapi dia tidak kuasa melepas Novan sendiri, bermain di taman kota.
Rea ingat kemarin di meja makan, ketika makan malam bersama, Novan asyik sekali berceloteh tentang profil teman barunya itu. Rea jadi ngeri sendiri. Seolah-olah Eca itu sosok yang sangat nyata hadir di alam Novan. Tapi mama menganggap wajar perkembangan psikologis adiknya itu. Apalagi kakek dan neneknya sepenuh hati mendengarkan tiap kata dari celotehan Novan, dan serta merta menanggapinya.
Tidak ada yang istimewa dengan itu. Kakek dan Nenek Rea betul-betul memanfaatkan waktu, menyenangkan hati cucu kesayangannya itu. Maka apapun yang adiknya celotehkan dengan mata bersinar-sinar di malam hari, Kakek dan Neneknya akan dengan penuh kekaguman mendengarkan.
Rea tersentak sadar dari lamunannya. Adiknya tidak lagi dalam pengawasannya. Rea sekarang merasa kekhawatirannya terlalu berlebihan. Diputuskannya untuk tetap duduk di bangku taman.
“Toh tidak ada sudut-sudut yang membahayakan di taman ini.” Batin Rea. Suasana taman yang ramai juga melegakan Rea.
Tiba-tiba di tengah keramaian, menyeruak Novan. Rea merasa lamunannya telah sedikit banyak mempengaruhinya, hingga ia jadi merasa sedikit lega melihat kemunculan adik kecilnya itu.
“Novan kalo main jangan jauh-jauh dong, Sayang!” kata Rea tidak bisa menyembunyikan kekhawatirannya.
“Mbak Rea tenang aja. Eca kan jagain Novan!”
Rea menatap adiknya sungguh-sungguh. Berusaha menemukan sedikit saja mimik bercanda di wajah Novan.
“Mbak Rea kan males lari-lari bareng Novan. Kalo Eca mau tuh ikutin Novan kemana-mana!” Lanjut Novan.
Rea merasa ini saat yang tepat bertanya tentang sosok bernama Eca itu.
“Novan, boleh nggak Mbak Rea kenalan sama Eca?”
Novan duduk tenang di samping Rea.
“Eca pemalu banget Mbak. Tadi Novam ajak kesini nggak mau.”
Rea mengeluarkan sebatang coklat dari saku celananya.
“Eca suka coklat nggak ya? Mbak Rea nggak suka coklat nih, coklatnya mau Mbak buang!”
Rea tersenyum nakal. Matanya melirik ke adiknya yang duduk di sampingnya. Geli melihat reaksi terkejut adiknya.
“Buat Novan aja deh Mbak coklatnya. Ntar Novan bagi dua sama Eca.”
Rea sampai-sampai tidak tega melihat wajah memelas adiknya itu.
“Udah sana! Panggil Eca...coklatnya Mbak pegang dulu.”
Novan bersungut-sungut meninggalkan Rea, menjauh ke arah pepohonan rimbun di seberang mereka. Hanya berselang 2 menit, Novan telah kembali duduk di samping Rea, sembari menggeleng-gelengkan kepalanya. Mimiknya sedih bercampur kesal.
“Ya udah deh. Coklatnya semua buat Novan aja.” Rea tidak tega memaksa adiknya itu. Disimpannya rasa penasarannya kuat-kuat.
****
Suatu senja di kamar Nenek, Rea membuka-buka beberapa album tua Nenek yang didapatnya dari atas lemari. Dikibas-kibasnya dulu album penuh debu itu sebelum dibuka.
Rea senang melihat-lihat album tua semua isinya adalah foto hitam puti yang klasik. Dicermatinya gambar-gambar tua itu dengan seksama. Foto kakek dan nenek tidak terlalu sulit dikenali. Rea pernah melihat foto yang sama di rumahnya.
Dia meraih album yang lebih muda usianya.
Halaman pertama memperlihatkan foto susana duka. Beberapa orang tampak menutup mulut menahan haru dan tangis. Selebihnya memperlihatkan wajah-wajah yang sembab.
Rea mengernyitkan wajahnya heran. Dilihatnya sosok masih muda kedua orang tuanya, di kerumunan orang-orang itu. Ia juga melihat Kakek, Nenek, dan semua kerabatnya yang ia kenal. Mereka semua, tentu saja nampak lebih muda.
Halaman kedua dan seterusnya membuatnya tercengang. Rea melihat, mereka semua menangisi seorang anak kecil seusia Novan, yang telah terbujur kaku di keranda.
Rea bertanya-tanya, siapa anak laki-laki itu. Ingin sekali, saat itu juga ia bertanya pada Kakek dan Neneknya demi membunuh rasa penasarannya. Sayang, mereka semua tidak berada di situ. Mama dan Papa sedang meninjau lahan di pinggir kota yang rencananya akan mereka beli.
Rea tersentak kaget. Tiba-tiba tangan mungil Novan sudah mengalungi lehernya.
‘Lagi ngapain sih, Mbak?” Mata bulat Novan bergantian menatap Rea dan album tua di tangannya.
“Novan nggak ada temannya nih!” Sungut Novan.
“Mbak lagi liat-liat foto, Van..kali aja ada yang bisa dibawa pulang!” Rea menjawab sekenanya.
“Sama aja dong nyuri punya Nenek!” Novan menjawab lugu, “mendingan ke taman aja, Mbak. Tadi pagi nggak sempat main sama Eca.” Adiknya itu berusaha merayu Rea.
Rea untuk beberapa kali menggeleng-gelengkan kepalanya. Nama itu lagi. Rea mencoba untuk terbiasa, tapi ia tidak bisa.
Diamatinya adiknya yang kini sedang membongkar foto-foto di depannya.
“Siapa nih, Mbak? Novan menunjuk foto Mama Papa mereka yang masih sangat muda.
“Siapa coba? Kalo bisa Mbak kasih coklat, nih!”
“Kok kaya Mama Papa ya, Mbak..” Novan mendekatkan album yang besar itu ke matanya dengan susah payah.
“Ya emang!” Rea tersenyum geli.
“Trus kali ini siapa, Mbak..? Novan menunjuk ke seorang ibu yang memakai busana adat Jawa. “Pasti ini nenek, nih..”
Rea mengangguk-angguk sambil senyum.
Trus kok foto Eca ada di sini sih, Mbak?” Novan mengerjap-ngerjapkan mata kecilnya heran.
“Eca kenal Mama Papa ya Mbak?” sambungnya masih dengan nada heran.
“Yang mana Eca, Van?” Rea berdiri, membawa album itu ke tempat yang lebih terang.
Cahaya di kamar neneknya memang suram. Dari ruangan-ruangan lain yang ada di rumah Nenek, kamar Neneknya lah yang palin temaram. Rea enggan ke kamar Nenek kalau tidak ada perlunya. Kamar Neneknya itu bukanlah kamar yang menyenangkan untuk ditiduri. Begitu menurut Rea.
“Yang ini lho, Mbak.” Novan kecil menunjuk jenazah anak kecil yang ditangisi seluruh keluarganya.
Rea menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Berjuta pertanyaan hinggap di benaknya. Ia bertekad mendapat jawabannya sesegera setelah orang tuanya pulang.
****
Malam itu semua orang berkumpul di ruangan tengah. Suasana malam itu susah digambarkan. Rea menunggu jawaban Papa atas semua yang ditemukannya tadi sore.
Rea sudah tahu, pertanyaannya ini akan menyebabkan suasana duka kembali hadir di tengah mereka. Tapi Rea tidak punya pilihan. Ia ingin sekali tahu.
“Eca itu kakakmu yang meninggal umur 6 tahun. Papa minta maaf. Selama ini tidak memberitahu kamu masalah ini.” Papa Rea membuka suara.
“Papa dan Mama benar-benar ingin mengubur semuanya. Meninggalkan kota ini dan melupakan semua kesedihan itu. Kami semua begitu terpukulnya sampai-sampai merasa perlu untuk pindah dari kota ini. Untuk menceritakannya ke kamu, kami tidak merasa perlu. Hanya akan mengungkitkan kesedihan saja.”
Papa menarik nafas. Ia memperhatikan mimik wajah Rea yang tidak berubah.
“Eca rupanya tidak mau dilupakan. Ia menemani Novan yang bermain di Taman.” Kali ini Papa tersenyum.
“Kasihan Eca..” Rea iba melihat wajah Papa yang menunduk sedih.
Malam itu semua semakin jelas bagi Rea.
Malam itu juga, dan malam-malam berikutnya, semua anggota keluarga berdoa untuk Eca di alam sana. Rea memohon kepada Tuha agar menerima Kakaknya itu di sisiNya.

(Dini 2001)


Si Kembar dan Sebuah Artikel

“Huh! Akhirnya...! matanya berkilat antusias menatap majalah tua itu.
Sudah hampir dua bulan ini, Fla merasa ada sesuatu yang sangat mengganggu pikirannya. Memang, pada suatu masa ketika berada di tengah kerumunan orang banyak, berinteraksi, berbicara, bercanda atau tertawa keras-keras, hal itu sama sekali tidak terpikirkan. Tetapi begitu ia sendiri, terlebih ketika secara tidak sengaja ia bertemu dengan saudara kembarnya, Vay, enatah di jalan atau di Taman Umum tempat Vay biasa menyendiri, hal itu kembali dengan hebat mengusiknya. Seolah mencari pembenaran diri, bahwa bukan salahnya lah berparaskan bak seorang model dengan pembawaan supel, yang turut memperuncing konflik antara dia dan Vay.
Hari ini dua bulan yang lalu, Fla masih ngat benar masalah agak konyol yang mereka pertengkarkan. Lelaki. Sedikit merobek hati Fla dan Vay, bahwa mereka gagal menjaga keutuhan perjanjian yang mereka rancang di rumah pohon kebanggaan mereka di masa kecil, untuk tidak akan pernah bermusuhan gara-gara lelaki.
Tapi lihatlah sekarang. Vay sampai tidak sudi lagi berbagi kamar denngannya dan bersikeras punya apartemen sendiri. Ma lelah berargumen dan Pa tidak cukup keras untuk menahannya meninggalkan rumah. Betapa keras kepalanya si Vay. Fla mengira-ngira, darimana Vay mewarisi sifat yang satu itu. Tapi terkadang justru sifatnya itulah yang mempermudah segalanya, seperti, ia dengan mudah mendapatkan barang-barang yang ia inginkan dalam sekejap.
Sekarang, yang kerap mengganggu pikiran Fla sudah ada di depan matanya. Ia berkata dalam hati: “Aku tahu cepat atau lambat artikel ini akan kutemukan! Hanya masalah waktu.”
Fla sudah pernah membaca artikel itu dulu. Begitu terkesannya ia, sampai-sampai sekarang, setelah musim berganti musim, dan ia serta Vay sudah tumbuh menjadi dua orang remaja-yang di luar kuasanya memiliki paras yang bertolak belakang, Fla masih dengan jelas bisa mengingat isinya. Bedanya, dulu ia membacanya ketika segalanya berjalan manis tanpa kerikil berarti, tapi sekarang, Fla sedikit benci pada dirinya.
Ia menemukan dirinya menarik nafas pelan. Dibacanya artikel itu dalam hati. “Para psikolog telah menemukan suatu these: yang cantik pasti baik. Dan these ini, banyak penganutnya. Mereka sering mengatakan: rupa seseorang tidak menentukan, yang penting adalah hatinya.”
Fla mengeluh, “andai saja kami kembar identik, seperti Rose dan Marry. Andai si tolol Tweeny tidak menjuluki Vay si gigi kelinci atau tupai betina.”
Fla meluruskan kakinya, mencari posisi membaca yang nyaman. “Lebih tepatnya, andai aku tidak mengerlingkan mataku ke Nick waktu itu!” Fla menyesali kebodohannya.
Detik berikutnya ia kembali tenggelam membaca.
“Namun dalam kenyataannya sikap kita lain. Menurut penyelidikan para sarjana: Kecantikan memegang peranan utama dalam hidup seseorang, dan ini sudah dimulai sejak kecil. Rupa seorang anak menentukan bagaimana rekan-rekan dan orang dewasa bersikap kepadanya. Yang jelas anak cantik hidupnya lebih mudah.”
Fla menarik nafas berat.
“Cantik dan pandai jarang seiring. Namun si cantik bisa memperbaiki angka di sekolah. Seorang anak cantik dengan hasil ujian yang jelek, kemungkinan besar gurunya akan mengatakan: “Tidak apalah, hari ini kau sedang sial.”
Fla menjadi geram. Bagian yang satu ini sudah pasti keterlaluan menyimpangnya. Memang benar, ia tidak sepintar Vay, tapi nilai pas-pasan yang diperolehnya di setiap test, adalah murni usahanya sendiri. Ia menolak anggapan: “dengan cantik nilaimu tertolong.”
Fla ingat kejadian itu, yang membuatnya semakin merasa menjadi “orang paling jahat dan tidak tahu diri di seluruh dunia.” Fla, karena kesalahannya sendiri, disuruh mengerjakan soal di depan kelas. Dan parahnya, itu adalah soal Kimia yang membosankan. Sudah dapat dipastikan ia merasa seperti boneka pajangan yang molek di depan etalase toko, cantik, berambut pirang, tapi tidak melakukan apa-apa kecuali diam dan tersenyum kecut.
Seingatnya, ia sudah membelalakkan mata ke Vay, berharap ada sebuah jawaban dibisikkan Vay dari tempat duduknya, dan Vay sudah melakukannya, ketika sekonyong-konyong suara Pam memecah ruangan.
“Hey lihat si Blondie! Cantik tapi kosong otaknya! Tidak ada yang bisa dilakukannya kecuali bersolek!”
Kejadiannya begiti cepat sehingga ia terperanjak kaget ketika sebuah layangan tinju Vay melesat cepat ke arah Pam. Si gila Pam, masih sempat berteriak, “lihat sekarang, si buruk rupa ini membela majikannya.”
Fla sadar sekarang, ia belum tentu sepatriot itu, kalaupun ia bertukar tempat menjadi Vay. Fla menggeleng-gelengkan kepalanya. Betapa dia menyadari sekarang, Vay pada berbagai momen, telah menjadi semacam malaikat pelindungnya. Dialah yang meyakinkan Fla bahwa ia tampak segar dengan blus berenda merah model off the shoulder yang dibencinya setengah mati. Dan hal-hal kecil lain seperti tetap mempertahankan warna asli rambutnya ketimbang mengubahnya menjadi brunette seperti Sandra Bullock. Hal-hal kecil yang manis dan mengesankan. Fla kian sadar, ia merindukan Vay.
Kali ini Fla memilih merebahkan kepalanya di atas bantal biru kesayangannya. Ia lanjutkan membaca.
“Psikolog Ellen Berscheid berpendapat kalau seorang anak cantik sudah dianggap manis dan anak kurang cantik dianggap nakal, dalam hal seperti itu, orang-orang akan mencocokkan pendapat dengan skema seperti itu. Opini publik akan terbentuk. Pokoknya rupa bagus merupakan satu plus. Orang akan lebih toleran terhadap si cantik, dan segalanya berjalan lancar.”
Fla merasa mual, tiba-tiba ia kehilangan gairah untuk meneruskan membaca. Ia meraih gagang telepon, memutar nomor telepon Vay yang didapatnya diam-diam dari Ma. Bahkan Vay sendiri mengultimatum Ma untuk merahasiakan nomor telepon itu ke Fla.
Suara melengking khas Vay di mesin penjawab telepon.
“Hey! I’m not home, just leave a message and I’ll call you back!”
Fla meninggalkan pesan setelah nada bip.
“Hey Vay, jangan salahkan Ma, membocorkan nomor ini. Dengar, aku tahu aku sudah terlalu egois, untuk tidak minta maaf duluan. Kamu disana, Vay? Ayo dong, angkat teleponnya. Aku minta maaf. I really do. Gimana kalau kau ijinkan aku main ke apartemen barumu? I kinda miss you..”
Fla menghempaskan telepon. Dia sedikit ragu, apakah menelpon sudah merupakan tindakan yang benar, mengingat betapa kerasnya pendirian Vay dalam beberapa hal.
“Sepertinya percuma.” Ia makin frustasi.
“Hey, tapi tidak ada salahnya berbesar hati seperti ini. Bukankah Barbara Streisand dan Bryan Adams melagukan: it’s funny how from the simple things the best things begin.”
Fla berharap, siapa tahu Vay bakal luluh dengan kehebatannya meminta maaf duluan, sesuatu yang musykil dilakukannya selama 19 tahun hidup satu atap dengan Vay.
Yeap. Vay selalu mengalah. Sifatnya yang satu itu sangat bertolak belakang dengan sifat keras kepalanya. Vay bagai punya kepribadian ganda, dan itulah yang membuatnya istimewa. Fla tersenyum. Betapa manja dan menjengkelkannya dia. Mungkin ini puncak kekesalan Vay terhadapnya.
Tapi tiba-tiba ia tersentak kaget. Tidak dibiarkannya dering susulan telepon itu berbunyi.
“Hello?”
“Hi, Fla. Itu kamu?” suara centil yang jelas bukan suara Vay.
“Deasy?” Fla tidak terlalu yakin.
“Yup, ini aku. Dengar, kencanku tadi malam benar-benar hebat. What they say about Shane is absolutely right. He’s the hottest guy around. He really gets me drooling!”
Deasy di seberang sana tidak henti-hentinya bicara.
“Coba saja kamu ada di sana, Fla. Double date kita pasti bakal asyik. Kenapa juga kamu menolak ajakan Nick yang super cute!” Deasy berbicara dalam satu tarikan nafas.
“Deasy, listen. Aku benar-benar bukan teman yang menyenangkan hari ini. Lebih baik kau tutup dulu teleponnya. Hubungi aku nanti.” Potong Fla sedikit kejam.
Fla meletakkan telepon dengan kesal.
Tidak sampai sedetik ketika telepon itu berbunyi lagi.
“Demi Tuhan, Deasy! Aku kan sudah bilang!” Fla mulai tidak sabar dengan kelakuan temannya yang satu itu.
“Fla??” suara yang akrab di telinga Fla, suara heran Vay.
‘Eh sorry, Vay!” Fla memejamkan matanya kuat-kuat, merutuki dirinya sendiri.
“Hebat! Kau pasti bersyukur aku meninggalkan rumah. Dengan bebas kau bisa menguasai telepon. Kelihatannya hidupmu sekarang jauh lebih menyenangkan, Sist!
“Wait a minute, Vay! I..” Fla merasa tertampar.
“Lebih baik kau segera kesini, kalau kau masih berminat.”
“Cool! Aku ke sana 5 menit lagi. Vay, ngomong-ngomong..aku..”
Klik!
Di seberang, Vay menutup telepon.
Tapi Fla tidak terlalu peduli, ia hapal betul kelakuan Vay. Fla bergegas. Tak lupa ia mencatat alamat apartemen Vay. Ia bersiul gembira. Ia merasa menang.
Pintu apartemen Vay di lantai dua sudah terbuka ketika Fla datang.
“Yohooo, Vay? Are you in there?” Fla bisa menduga Vay akan muncul dengan muka judesnya, yang sangat ddibenci Fla.
Tapi ia salah.
“Apa kabar, Fla?” sapaannya hangat. Vay juga membawa orange juice dan snack di tangan kirinya. Ini malah membuat Fla bengong.
“Hey, ada apa? Apa perlu kuputar mesin penjawab teleponku yang ada kata-kata ‘I kinda miss you’ nya?” Vay tersenyum manis.
“Yah, honestly, I miss you too, Fla. Rasanya aneh mendengarkan Blink 182 atau Goo Goo Dolls sendirian. Belum lagi harus nonton baseball sendirian tanpa ada teriakan menjengkelkanmu di samping.” Vay mengeluarkan senyum yang paling jahil.
Fla ingin berteriak sekeras-kerasnya dan memeluk Vay sekuat-kuatnya, kalau saja Vay tidak cepat-cepat menghindar. Kalau sudah begini, ia melihat Vay bagaikan saudara kembar terkeren di dunia.
“Dan kau tahu, Fla? Ada sesuatu yang ingin kutunjukkan padamu. Sesuatu yang mengingatkanku akan kau.” Vay beranjak dari sofa, mengambil sesuatu dari atas TV.
Ia meraih sebuah majalah tua.
“Aku meminjamnya dari Mrs. Stewart di sebelah kamar. Baca deh.”
Dia membuka halaman yang terlebih dulu dilipatnya. “Mrs. Stewart itu benar-benar jago membuat Charlotte cheese camembert! Akan kukenalkan kau padanya sebentar lagi.” Lanjutnya.
“Akan kutodong ia membuatkan 2 loyang untuk kita!” Vay tersenyum lebar.
Tidak perlu waktu banyak bagi Fla untuk mengenali artikel yang sangat dikenalinya itu.
Dia menutup mulutnya, sedikit takjub dengan kebetulan ini.
“Astaga!” seru Fla menatap saudara kembarnya.
“Hey! Ada apa, Fla? Kau tidak suka Charlotte cheese camembert? Calm down, we still can make others. Don’t worry!”
“Bukan, bukan itu! Tapi artikel ini......kamu membacanya juga, Vay!”
Kali ini Vay yang bingung.

Inspired by real article I’ve read on an old magazine (1976)

(Dini 2001)


Setelah berulang kali mengirimkan naskah cerpen ke beberapa majalah remaja, salah satu cerpenku yang berjudul Si Kembar dan Sebuah Artikel dimuat. Ini memberikan keyakinan diri bahwa pada level tertentu dan pada kapasitasku sebagai seorang penulis yang baru belajar, aku sudah berada di track yang benar. Hanya saja aku masih harus banyak belajar.

Lulus dari perguruan tinggi, aku berhasil diterima di sebuah perusahaan swasta. Perusahaan itu bergerak di bidang tambang batu bara dan minyak bumi. Perusahaannya lumayan besar dan menggurita. Aku menjadi salah satu karyawannya dan ditempatkan di departemen training centre. Di departemen inilah, aku banyak menemukan serpihan-serpihan kisah-kisah yang indah untuk dijadikan tulisan. Mulai dari yang bertemakan persaudaraan, percintaan hingga perkawanan kerja. Beberapa coba aku tulis dengan sudut pandang orang lain.

Untittled

Perjalanan panjang dan akhirnya aku diterima di sebuah perusahaan di kota ini Tidak terlalu sulit untuk menembusnya, karena aku merasa pelamar-pelamar lain tidak sebanding denganku. Aku tidak berkata bahwa aku hebat, tetapi kerena aku merasa berkompetisi di ladang yang salah. Itu aja.
Waktu itu bersamaku ada ratusan anak berusia sekitar sembilan belas sampai duapuluh tahunan. Beberapa tampak seperti aku, tapi beberapa tampak lebih muda. Pemandangan yang membuatku sempat berpikir bahwa aku salah tempat.
Tes satu disusul dengan tes lain. Jeda antara tes satu dengan tes lain lumayan lama. Untung ada sebuah gazebo mungil tempat menunggu. Waktu menunggu yang lumayan lama dimanfaatkan oleh beberapa orang untuk ngobrol dan berkenalan. Aku datang bersama seorang teman. Dan tentu saja aku berharap kami berdua diterima.
Seorang perempuan dari tadi, kira-kira setengah jam, mondar-mandir memanggil kami untuk masuk. Aku kira dia berusia sama seperti kami. Sekitar duapuluhan juga. Tidak ada perempuan lain yang tampak dari tadi, hanya perempuan itu saja. Ada beberapa wanita setengah baya dan aku rasa mereka adalah wanita-wanit mandiri yang sering aku lihat di televisi. Mandiri dan tidak butuh suami. Aku tidak akan mencari wanita seperti itu.
Perempuan muda yang memanggil kami satu persatu seperti masih canggung dengan pekerjaannya. Aku rasa dia orang baru. Dengan kulit coklatnya dan kerudung yang kontras dengan warna kulitnya, dia tampak tidak terlalu istimewa.
Dia memandangku sekilas. Aku rasa ini giliranku. Tapi aku salah. Dia menghampiriku dan bertanya hal-hal yang tidak terlalu pentimng. Aku rasa dia Cuma ingin menghirup udara segar karena seharian berada di ruangan ber AC.
Belakangan baru aku tahu bahwa dialah yang akan menjadi orang yang paling dekat dengan kami. Dan bahwa kami adalah salah satu job desc nya.
Beberapa minggu di kantor ini membuatku semakin tahu bahwa bukan pekerjaan inilah yang aku ingin. Sebenarnya aku sudah dapat gambaran akan apa yang aku terima jika aku diterima di sini. Dan aku mendapatkan informasinya dari seorang teman. Tapi beberapa hal di kantor lamaku membuatku tetap melamar ke perusahaan ini. Dan jadilah aku di sini, orang yang salah di tempat yang salah.
Dalam beberapa hal, tidak ada yang buruk dengan kantor ini. Aku mendapat teman-teman yang lucu. Aku katakan lucu karena mereka masih sangat muda dan bersemangat. Dalam beberapa hal aku merasa aku sedang menertawakan diriku sendiri karena mendapat teman-teman semuda mereka.
Dan aku juga berkata bahwa dalam beberapa hal tidak ada yang buruk dengan kantor ini. Akan aku jelaskan sedikit mengapa. Kantor ini adalah kantor yang terletak di tepi pantai. Pantainya memberimu pemandangan yang damai setiap jam sepuluh dan jam tiga sore. Dua masa itu adalah masa dimana kami mendapat coffee time dan limabelas menit break (kadang-kadang kami menbuatnya menjadi tigapuluh menit:). Masa-masa yang lumayan menyenangkan karena kami akan berhamburan menghampiri kue-kue sangat biasa, yang sudah terhidang dan minuman-minuman panas yang lumayan menghangatkan perut setelah lama training di dalam kelas.
Training di dalam kelas yang kumaksud adalah training tidak up to date yang kami dapat di awal-awal tahun. Mereka memberi kami training-training yang sudah kami dapatkan semasa kuliah atau sekolah dulu dan tidak ada yang istimewa dengan itu, karena kami sudah tahu itu semua. Training yang benar-benar kami butuhkan akan mereka beri lima tahun lagi, dan aku rasa mereka merancangnya sedemikian rupa agar kami bertahan hingga lima tahun. Kadang-kadang aku salut dengan apa yang sudah mereka rancang untuk kami semua.
Dan aku tidak tahu berapa persen dari kami yang merasa bahwa di kantor ini adalah sebuah kesalahan. Beberapa tampak seperti sudah cukup bersyukur bisa menjalani ini semua. “Beberapa” yang kumaksud adalah mereka yang mungkin sudah lama menganggur, sehingga diterima di perusahaan ini seperti mendapatkan air di tengah gurun pasir. Dan golongan kedua yang bersyukur adalah mereka yang baru lulus sekolah dan langsung bangga mengenakan seragam biru kami ini. Seragam dengan tulisan namamu di sebelah kanan, dan nama perusahaan ini di sebelah kiri. Entah berapa orang yang merasa konyol memakainya, mungkin hanya aku. Katakan saja aku kurang bersyukur, namun itu adalah hal-hal yang aku rasakan, dan bahwa aku hanya mencoba untuk jujur dengan mengatakannya.
Dan aku rasa satu hal lagi yang menyebabkan kantor ini tidak terlalu buruk adalah dia. Dia perempuan tidak kurus dan gelap yang memanggil kami semasa perekrutan. Aku sering melihatnya mondar-mandir di kantor kami dengan wajah seriusnya, dan aku rasa dia orang yang tidak terlalu menyenangkan. Dia berjalan tanpa menoleh ke kiri dan kanan. Kadang-kadang dia berlari-lari. Tapi tentu saja kemudian aku berpikir bahwa mungkin tidak mudah untuk menangani beratus-ratus anak magang seperti kami dengan wajah yang selalu tersenyum. Dan kemudian aku menjadi maklum mengapa dia seperti yang aku lihat setiap harinya.
Aku kadang-kadang menegurnya apabila kami bertemu. Hanya sekedar menyapa. Aku mengiriminya sms-sms tidak penting tentang pekerjaan (dan aku heran kenapa aku melakukannya). Aku melihatnya pagi-pagi menghampiri kelas kami, dan aku mengomentari lipsticknya. Dan kemudian aku menjadi sedikit menyesal karena ternyata itu bukan teguran yang tepat. Kami berpapasan dimana-mana dan dia selalu tersenyum. Aku ingin sekali tersenyum tapi aku tidak tahu mengapa aku selalu gagal mengukirnya. Dan mungkin sekali yang terlihat olehnya adalah wajah tanpa ekspresi. Aku mengutuk kegagalanku itu.
Aku bisa melihat (atau mungkin hanya perasaanku saja) bahwa dia sebenarnya mengharapkan aku tersenyum kepadanya. Kadang-kadang dia membuat semacam percakapan kecil atau pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya bisa dia tanyakan ke anak lain. Tapi itu dia tanyakan kepadaku. Ini kadang-kadang membuatku senang. Bahwa dengan wajah dinginku ini, dia masih mau menegurku. Aku rasa dia perempuan yang agak baik. Dan penilaian awalku tentang dia aku kubur hidup-hidup.
Aku menjadi tertarik kepada nya tanpa aku sadari (atau aku sadari?). Dan aku merasa dengan segala kebingungan-kebingunganku tentang sikapnya yang sering tidak konsisten, dia juga tertarik kepadaku. Dan kemudian aku tahu bahwa dia tidak konsisten karena dia sudah punya seseorang.
Aku memberanikan diri ke rumahnya (setelah perjalanan panjang menanyakan dimana rumahnya karena dia tidak langsung memberitahuku). Rumahnya terletak di atas gunung di sebuah kompleks. Rumah itu kecil dan tidak mewah. Sederhana dengan dua kamar yang kecil-kecil. Dia tinggal sendiri, tanpa orangtua. Orang tuanya berada di kota lain yang jaraknya dua jam perjalanan dari kota ini. Aku rasa dia cukup pemberani dengan kondisi rumah yang gelap dan terpencil seperti itu.
Kedatangan pertama berlangsung tidak terlalu buruk. Dia menerimaku seperti menerima teman lama. Kadang kala sedikit canggung dan tersendat-sendat di berbagai percakapan. Tapi aku rasa itu adalah hal yang wajar. Kami adalah dua orang yang baru kenal dan tidak bisa dikatakan dekat.
Aku merasa aku yang mendomonasi percakapan setiap kali aku ke rumahnya. Dia hanya mendengarkan dan tertawa setiap kali ada yang lucu. Tapi dalam beberapa hal, dia tidak menunggu kata-kata yang lucu untuk tertawa. Aku rasa dia tertawa sesekali kalau mengingat hal-hal lucu di otaknya. Dan kadang-kadang aku merasa dia sering sekali menertawakan dirinya sendiri.
Dia lebih suka diam. Dia berbicara dalam hatinya, dan dia berharap orang lain bisa mendengarnya. Aku rasa dia sedikit gila, karena tentu saja itu mustahil. Aku menertawakan ketololannya. Dia terlalu malas untuk berkata-kata sehingga dia berharap tinggi pada semua orang yang dia ajak bicara. Dia gila.
Dia gila tapi kemudian aku merasa aku memikirkannya berkali-kali lebih banyak tiap harinya. Dan itu semakin membuatku pusing. Tidak saja karena semakin hari otakku penuh dengan namanya, tetapi juga karena dia mendukungnya dengan bersikap baik padaku. Dan perasaanku terhadapnya semakin menjadi-jadi.
Dia menunjukkan perilaku yang sama. Hanya saja aku masih belum bisa memastikannya. Sikapnya yang berubah-ubah seperti bom waktu yang bisa meledak kapan saja. Dan aku menemukan diriku menjadi lebih waspada. Aku masih menyayangi diriku ini. Kadang-kadang aku berusaha menghindari matanya. Kadang-kadang aku berusaha tidak bertemu dengannya di kantor. Tapi kadang-kadang aku juga mengintipnya dari balik pintu kelas kami. Dia yang biasa dan sama sekali tidak sempurna itu mulai menyita pikiranku.
Pernah suatu malam aku mengunjungi rumahnya, aku memberanikan diri memegang tangannya, dan tahu apa yang dilakukannya? Dia membiarkan tangannya tersentuh olehku tanpa berkata apa-apa. Dia menyelami mataku seolah-olah sudah lama dia begitu terasing dan tidak bertemu dengan satu manusiapun. Dia menyelami mataku dengan rakus, dan itu membuatku bertanya-tanya dalam hati, cukupkah peristiwa ini menyimpulkan bahwa dia mempunyai rasa yang sama denganku?
(Cerita yang tidak akan pernah selesai..)

(Dini 2003)

Untuk mengenang 2 orang teman kerja yang aku kagumi, aku membuat cerpen tentang mereka. Beberapa cerita yang tertoreh di dalamnya bersifat fiktif dan hiperbola.

To: Moehammad Refiandy

Mas Refi,
saya ingin melamar anda,
di saat saya yakin bahwa semua pria sama seperti saya,
berlumur dosa dan begitu mudah tergelincir.
Di saat saya melihat,
bahwa mereka ternyata melakukan kesalahan,
sama seperti saya.

Saya ingin melamar anda,
di saat saya putus asa,
melihat pria-pria yang saya kira baik,
telah gagal berjalan di jalanNya.

Saya sangat ingin melamar anda,
di saat saya kecewa,
mereka yang saya harapkan bisa mengajak saya kepada kebaikan,
dan membimbing saya menjauhi kesalahan,
malah menceburkan diri bersama saya,
melakukan kesalahan-kesalahan itu.

Saya ingin melamar anda Mas Refi,
anda yang saya yakin akan dapat menuntun saya,
bertobat, bertekuk lutut di hadap Nya,
membantu melupakan masa lalu saya,
dan menenangkan gundah jiwa saya.

Saya sangat ingin melamar anda,
membangun keluarga yang sakinah bersama anda,
keluarga yang penuh senyum, putih, bersih,
yang memiliki anda sebagai imam,
memiliki anda sebagai suri tauladan.

Mas Refi saya inginmelamar anda,
menjadikan anda ayah dari anak-anak saya,
ayah yang tidak saja cerdas duniawi,
tetapi juga cerdas spiritual dan rohani.
Ayah yang sabar dan mungkin akan jarang marah:)

Mas Refi saya ingin melamar anda.
Saya yakin anda adalah pria yang tepat untuk saya,
dan iman yang tepat untuk keluarga saya.
Tidak ada waktu luang bagi saya untuk mendekatkan diri pada anda,
tetapi demi Allah, rasul serta malaikat-malaikat-Nya,
saya yakin akan hal itu.
Tidak ada waktu yang luang untuk anda melihat bagaimana saya,
karena selain tidak perlu,
saya yakin hanya mukzizat Tuhan yang membuat anda menerima lamaran ini.

Tapi mas Refi,
Betapa saya ingin melamar anda,
Dan mempersembahkan anda untuk ayah saya.
Anda tahu mas Refi?
Saya sangat ingin membahagiakan ayah saya itu.
Dia adalah pria berumur 60 tahun setengah malaikat yang sangat saya sayangi.
Saya yakin dia akan tersenyum senang,
Apabila saya kenalkan anda sebagai menantunya.
Anda sudah mendekati kriterianya, Mas Refi.
Sholeh, berilmu, rendah hati, bisa mengimami, sabar, mungkin suka bola, dan lain-lain.
Saya yakin dia akan senang.
Dia sudah 60 tahun, sebentar lagi 63 tahun.
Nabi Muhammad meninggal di usianya yang ke 63.
Saya mohon mas Refi,
Saya sangat ingin melamar anda.
Ayah saya akan meninggal dengan tenang melihat saya dan anda bersatu.

Saya sangat ingin melamar anda.
Saya sama sekali tidak berusaha untuk itu.
Saya bahkan tidak menunjukkan ketertarikan saya di kantor.
Saya berhubungan dengan anda,
anda satu ruangan dengan saya,
tapi Demi Tuhan saya berusaha wajar,
dan selalu menghindari mata anda.
Anda tahu kenapa?
Kerena anda terlalu sempurna dan mustahil untuk disentuh.
Saya teramat sangat ingin melamar anda.
Saya adalah pungguk yang merindukan bulan.

Saya ingin melamar anda.
Saya berharap banyak pada kekuatan doa,
karena saya tidak berusaha,
padahal doa dan usaha seperti satu paket.
“Apabila anda ingin sesuatu, maka anda berusaha...dan berdoa”.

Saya ingin anda Mas Refi,
tapi saya tidak berusaha,
Dan hanya berdoa saja.
Saya berharap pada Tuhan,
yang Maha membolak-balikkan hati.
Saya berdoa saja,
semoga Tuhan membisikkan rangkaian lamaran suci kepada anda,
dan mungkin,
Membawa anda pada saya.
Anda akan melamar saya,
dan dengan Bismillahirrohmanirrohim,
saya akan menutup mata dan menerima lamaran itu,
tanpa berpikir dua kali.
Karena saya yakin,
ini adalah tangan Tuhan,
dan kita berdua akan takjub dengan kuasaNya.

Betapa saya ingin melamar anda,
dan apabila anda setuju,
kita akan langsung saja menikah,
karena pacaran hanya rangkaian dosa,
dan saya tahu persis itu.

Mas Refi,
dan apabila anda setuju,
saya akan menjadi istri yang baik.
Saya ingin melamar anda, Mas Refi.
Dan saya akan menjadi ibu yang baik.
***
Mas Refi berusia sekitar duapuluh tujuh tahun. Aku berusia duapuluh tiga tahun. Mas Refi bersama enampuluh orang staff lainnya adalah seorang trainer atau tenaga pengajar di departemen ini, Training Centre. Perusahaan kami adalah perusahaan multi internasional dan training centre adalah salah satu departemen aktif yang memperkuat perusahaan ini.
Aku baru enam bulan disini. Mas Refi sudah dua tahunan. Aku memujanya. Aku memujanya seperti gadis kecil yang memuja boneka barbie barunya. Terlebih ketika pimpinananku menominasikan aku ikut training komputer, dan dia menjadi trainer nya. Tidak ada satu pelajaran pun yang masuk. Aku terlalu sibuk menatap wajahnya dan mendengarkan suaranya yang lembut dan sabar. Bahkan untuk mengajar seorang carpenter dari departemen maintenance yang sama sekali tidak pernah memegang komputer, dan hingga pertemuan ke sepuluh tidak kunjung mengerti, sikapnya yang sabar tidak pernah berubah.
Duh, aku benar-benar memujanya, dan tidak ingin menunjukkannya. Aku rasa aku berhasil. Tidak ada yang tahu dan tidak akan pernah ada yang tahu. Bahkan dia. Padahal apabila dia tahu, bahwa inginku tidak lagi menjadi pacarnya, tetapi istrinya.
Aku bahkan menceritakan dia pada ayahku. Ayahku yang setengah malaikat. Dan dia hanya tersenyum. Seribu makna. Dia dan senyumnya yang teduh memang tidak pernah berubah dari tahun ke tahun. Aku selalu memerlukannya sehabis pulang kantor. Dia dan senyumannya seperti charger hp yang mengisi full energi hp yang kosong.
Aku bercerita di pangkuannya tentang mas Refiku. Dan dia hanya mengusap-ngusap kepalaku. Seribu makna. Mungkin “anakku sudah besar”, “anakku mencintai seorang pria”, “anakku lelah dengan kegagalan-kegagalan cintanya”. Mungkin.
Aku memang lelah. Dan aku berencana menemukan pelabuhan terakhirku yang terbaik. Terbaik untuk ayahku juga. Aku sangat ingin melihat dia tersenyum akan pilihanku. Dan pilihanku itu jatuh pada Mas Refi. Seseorang yang datang tidak dari manapun juga. Aku sangat ingin meraihnya dan menyirami hatiku dengan putihnya.
Aku menulis surat puluhan kali dalam sehari, dan menjadi puluhan kali lebih banyak tiap harinya. Tapi tidak ada satupun yang sampai.
Hingga yang satu ini.
Aku membacanya berulang-ulang. Betapa aku ingin dia membacanya, tanpa tahu siapa pengirimnya.
Dan perlu waktu berminggu-minggu untuk meyakinkan diriku, bahwa dia memang perlu tahu. Dia perlu tahu bahwa ada seseorang yang peduli dan menginginkannya. Aku bahkan bertanya pendapat ayah. Dan seperti biasa dia hanya tersenyum. Dan senyumnya, cukuplah sudah.
Aku melakukannya. Aku menyelipkan surat itu di bawah mejanya. Dia membacanya. Dan aku sangat puas. Dia tersenyum seperti malaikat.
Siang ini aku training komputer. Aku akan melihatnya mengajarku lagi. Dan untuk pertama kalinya, aku akan menatap wajahnya setelah membaca surat lamaranku lima belas menit yang lalu.
Duh ayah, dia memang tidak tahu siapa penulisnya, tapi mengapa aku sangat bahagia.
(Dini 2003)

Nama saya Dini. Umur 24 tahun. Sudah menikah sebulan yang lalu. Sekarang saya bekerja di sebuah perusahaan swasta di sebuah kota kecil yang sedang berkembang pesat. Tidak rugi tinggal dan hidup di kota kecil yang indah ini. Saya memuja kota ini.
Saya juga memuja departemen dimana saya bekerja. Saya memuja bangunannya yang bersahaja. Saya memuja lingkungannya yang bersih. Saya memuja pantai dan gazebunya. Dan saya memuja orang-orangnya yang kaya ilmu tapi tetapi tetap rendah hati.
Saya beruntung bahwa Dia menempatkan saya di sini. Dan bahwa Dia menjadikan kantor ini sebagai kantor pertama saya semenjak lulus kuliah setahun yang lalu. Dan saya juga beruntung bahwa Dia mentakdirkan Bapak-bapak dan Ibu-ibu itu sebagai teman kantor pertama yang saya punya. Mereka adalah orang-orang yang hebat di bidangnya masing-masing. Dan kebersahajaan mereka dalam bekerja akan menjadi inspirasi saya di beberapa tahun ke depan. Terima kasih untuk Mu.
Saya juga beruntung bahwa Bu Nana menjadi orang pertama yang mensupervisi saya. Banyak ilmu yang saya dapat dari beliau. Juga, saya senang bahwa Mbak Rita adalah partner kerja saya yang pertama. Saya mengagumi kesabarannya yang konsisten dari pertama saya masuk, buta, dan tidak tahu apa-apa, sampai sekarang ketika sudah hampir setahun saya bekerja, Mbak Rita tetap dengan kesabarannya yang mengagumkan itu.
Saya beruntung mengenal Yeyen dan Anis. Dua orang sahabat yang saya temukan di Training Centre. Mereka adalah teman-teman yang baik. Mereka mengajarkan banyak hal. Dan yang paling penting berkawan dengan mereka tidak menjadikan otak saya mengecil. Karena selalu ada saja yang kami bahas dan diskusikan. Waktu berjalan cepat dan tidak terasa apabila mereka di samping saya.
Mbak Linda dengan segala keanggunannya sebagai seorang kakak, juga sangat mengesankan. Dia seperti air yang menyejukkan kami di sela-sela kerjaan yang menghimpit. Kesejukannya akan selalu saya ingat.
Saya juga mengenal beberapa nama yang sulit untuk dilupakan. Pak Buko, Pak Nas, Pak Dikdik, Pak Daru, Pak Hadi, Mbak Evin, Mas Refi, Pak Geoge, Pak Rajab, Pak Dadang, semua inspiring person yang very nice to be with.
Dan yang paling penting adalah anak-anak muda yang berotak encer, para apprentice itu. Menyenangkan sekali pernah mengenal mereka, dan mendengar cerita-cerita mereka tentang beratnya kehidupan di site. Berat tapi kemudian mereka akan buru-buru menutupnya dengan besarnya kompensasi yang mereka dapat setelahnya.
Ada cerita puas, ada juga cerita tidak puas. Dan kemudian saya berpikir bahwa itu semua manusiawi. Saya lebih berpikir betapa beruntungnya mereka yang ditempa banyak ilmu dan bisa berkeliling lokasi, melihat belahan bumi lain ciptaanNya. Beberapa sadar akan hal itu tapi banyak juga yang tidak cukup mensyukuri itu semua. Sekali lagi, saya beruntung mengenal ratusan anak magang itu.

(Ruang D lokasi pameran, Jumat 5 November 2004, 14.00 setelah sholat dhuhur, cerita pendek tentang TC.)
Ketika aku diharuskan untuk berhenti dari kantorku yang menyenangkan itu karena harus ikut suami pindah ke Jakarta, aku sempat membuat sebuah cerpen yang kemudian kuhadiahkan untuk sahabatku. Cerpen ini juga ungkapan kekagumanku kepadanya. Sampai sekarang kami masih bersahabat.


Anis (/ei/nis)

Ini adalah kantor yang menyenangkan. Kantor ini memanjakan matamu dengan memberimu pemandangan yang indah setiap kali kamu merasa lelah berada di dalamnya. Kamu tinggal keluar lewat pintu samping dan berjalan ke belakang kantor. Halaman belakangnya berbatasan langsung dengan pantai. Hanya dibatasi oleh sebuah pagar besi yang dengan mudah bisa dibuka. Tapi tentu saja kamu tidak bisa langsung ke pantainya meskipun kamu ingin. Karena saat ini sedang ada proyek reklamasi pantai, dan ada banyak unit-unit alat berat seperti excavator, loader dan crane di sana, lengkap dengan operator-operator alat berat yang semuanya orang Indonesia. Kamu harus mengenakan Personal Protective Equipment (PPE) seperti yang dilakukan oleh para operator itu dulu, dan itu sedikit merepotkan.
Aku suka pantai, tapi aku memilih untuk tidak melakukannya karena untuk saat ini memandang laut lepas dari jauh sudah lebih dari cukup. Di negeri asalku, Australia, apabila aku sudah berada di pantai, dan kakiku tetap kering dan aku belum berdiri di perbatasan pantai dan airnya, maka aku akan merasa sangat bodoh dan konyol. Dan itu sangat menggemaskan.
Namaku Phil. Philip Stewart. Umurku 27 tahun. Tapi aku merasa sangat tua dan berisi. Aku pintar dan cerdas. Aku sudah melihat banyak hal dan belajar banyak. Aku punya ayah yang seorang diplomat. Dan ini sangat menguntungkan. Pada usia yang sangat muda dimana mungkin anak-anak lain sibuk bermain dan memikirkan hal-hal konyol dan tidak penting, aku dan ayah sudah berdiskusi masalah politik dalam dan luar negeri, konflik sara antar negara, fluktuasi kurs mata uang asing, dan lain-lain.
Itu juga mungkin yang membuatku tumbuh menjadi anak yang terlalu serius. Dan orang memandangku sebagai anak aneh yang tidak menyenangkan. Tapi aku tidak peduli. Toh aku tidak pernah mengganggu mereka. Dan aku tidak merasa terganggu hanya dengan kata-kata “freak” yang keluar dari mulut mereka.
Aku sekarang sedang berada di Indonesia, tepatnya di sebuah kota kecil bernama Balikpapan. Aku tidak pernah membayangkan akan berada di kota yang sangat kecil ini. Maksudku, aku sudah pernah ke Inggris, Amerika, Italia, Irlandia, dan berada di kota ini membuatku merasa terpukul.
Tapi apa boleh buat. Disini banyak minyak. Dan itu yang kami cari.
Balikpapan sebenarnya tidak terlalu buruk. Hanya saja, semuanya begitu cepat dilihat. Sedikit sekali tempat-tempat indah yang bisa dilihat. Mereka punya pantai. Tapi pantainya kotor dan sama sekali tidak indah. Aku pernah mengunjungi 2 pantai dan semuanya sejenis. Kotor.
Ada juga sebuah penangkaran buaya yang letaknya lumayan jauh dari tempat tinggalku sekarang. Tidak terlalu buruk. Hanya saja mereka kurang merawatnya. Mungkin masalah biaya.
Balikpapan punya 2 mall yang kecil-kecil, yang selalu penuh di akhir minggu. Penduduk kota ini benar-benar haus akan hiburan. Well, setidaknya itu yang aku tangkap.
Tapi ada yang membuatku salut. Kotanya begitu bersih. Ini yang membuat kesadaran penduduknya untuk menjaga kebersihan tidak pernah padam. Aku menggambarkan kota ini seperti kota tua di Swedia yang pernah aku kunjungi. Namanya Kalmar. Bersihnya kota ini hampir seperti Kalmar. Hanya saja bedanya Kalmar adalah kota tua yang penuh dengan puri-puri. Sedangkan disini semua bangunan adalah bangunan baru.
Perusahaan kami bergerak di bidang oil dan gas. Balikpapan adalah kantor support facilities yang menyokong kegiatan-kegiatan operasional di lokas-lokasi kerja yang lebih terpencil lagi. Proyek-proyek kami berada di Satui, Senakin, Sangatta, Suban, Duri, Minas dan Darajat. Dan aku adalah salah seorang “bule” yang terdampar di sini dan dipercaya untuk mengelola sebuah departemen. Training Centre.
Aku sudah 1 jam berada di luar. Menghadap ke laut. Jam menunjukkan pukul satu siang, dan ini adalah masa-masa orang Indonesia kembali masuk kantor untuk bekerja. Orang Indonesia suka makan nasi di kantin dan orang bule lebih senang istirahat di depan komputer dengan tangan kiri di keyboard dan tangan kanan memegang roti sandwich isi atau buah-buahan yang sudah dipotong-potong kotak-kotak, seperti yang selalu di bawa temanku, Jason.
Aku masuk ke dalam. Training Centre ini departemen kecil yang merangkak besar. Dulu ini adalah tantangan buatku untuk mengeset semua sistem dan manajemennya. Tugas kecil karena aku merasa otakku berjumlah lima. Juga karena aku didukung oleh orang-orang Indonesia yang hebat-hebat. Aku meminta orang-orang dari HR untuk mencarikanku beberapa orang untuk ditaruh di pos keuangan, administrasi, IT, sekretaris - dan karena ini training centre, trainer atau pengajar.
Semua membuatku puas dengan kerja mereka. Mereka cepat dan berotak lima sepertiku. Trainer-trainer nya juga handal.
Aku membuat program magang dua tahun yang aku namakan The Apprenticeship programme yang proposalnya segera disetujui Jakarta. Mereka akan magang di perusahaan ini dan akan berada di bawah Training Centre untuk menjalani pelatihan-pelatihan di kelas dan workshop.
Pelatihannya terdiri dari dua bagian. Off Job Training dan On Job Training. Off Job Training adalah ketika mereka berada di Training Centre dan ditempa dengan berbagai competency-competency dengan standard Australia selama sebulan. Dan On Job Training adalah ketika mereka harus dikirim ke lokasi-lokasi tambang dan bekerja di bawah pengawasan supervisor-supervisor site selama 3 bulan. Begitu seterusnya hingga dua tahun.
Program ini sukses dan mereka mengangkat gelas tinggi-tinggi untukku. Sekarang aku punya 147 siswa magang yang spesifikasinya mekanik, elektrik dan welder. Mereka muda, ambisius, enerjik dan sedikit sombong. Mungkin bangga bekerja di perusahaan asing. Mungkin juga bangga memakai seragam-seragam biru muda dan oranye dengan nama perusahaan ini dibordir di sebelah kiri.
Aku memandang kalender meja ku. Laptopnya baru saja kuaktifkan. Aku baru ingat bahwa ini adalah waktu untuk training Bahasa. Aku punya schedule tetap untuk training bahasa Indonesia. Selasa dan Kamis pukul 10:00 am. Ini kebijaksanaan baru bahwa semua bule harus menjadwalkan dirinya untuk training bahasa, dan mereka sendiri yang menetapkan waktunya di sela-sela hari kerja. Beberapa bule yang malas dan berpikir bahwa ini tidak ada gunanya, menjadwalkan training bahasa sekali dalam seminggu. Dan ini bisa aku sebutkan dengan mudah siapa. Tidak banyak bule malas di sini.
Aku bergegas ke ruang D. Aku sedikit bersemangat karena aku memang agak lelah hari ini. Permainan tenis yang tidak imbang semalam antara aku dengan Jason membuatku sedikit lelah bekerja. Alasan kedua yang membuatku agak bersemangat hari ini adalah trainernya.
Sudah hampir sebulan aku tidak mendapat training bahasa karena cuti. Dari kota kelahiranku aku juga dengar bahwa Anis yang sudah sebulan berada di Satui telah kembali. Dan sekarang aku senang bisa melihatnya kembali.
Sebelum aku berangkat ke Australia untuk cuti, aku menulis email untuknya. Bunyinya seperti ini :
“ Anis, sorry I can’t make my lesson. I am travelling next week, but I promise that I will take my book with me and do some study and I will practice with anyone who can speak bahasa here. Regards and have a good weekend. Philip.”
Dan dia membalasnya seperti ini :
“ It's okay Pak. Remember, I keep your words. I really can't wait to see your progress. Have a nice weekend (Selamat berakhir pekan) and have a nice trip (Semoga perjalanan Anda menyenangkan). Anis. “
Aku membalasnya :
“I do will make a New Year Resolution to improve my Bahasa Indonesia.”
Dan si aneh itu menulis :
“ Just let me know when you want to start studying again. I'm glad that you really want to make a New Year Resolution. I'll see you next month. Cheers, Anis”
Sebenarnya kami punya beberapa trainer bahasa, tapi karena perampingan struktur organisasi, maka manajemen menghendakiku mengurangi beberapa.
Penampilannya masih seperti sebulan yang lalu. Masih aneh. Mengingatkanku pada masa mudaku yang aneh dan serius. Dia berkaca mata dengan mimik yang selalu serius. Dia berjalan seolah-olah ada yang mengejarnya di belakang dan harus aku akui bahwa dia selalu berbau sabun mandi. Di atas semuanya, dia jenius dan menyenangkan. Apabila kamu melewatkan dua jam bersamanya dalam satu ruangan, hanya berdua saja, maka kamu akan membuang jauh-jauh anggapan awalmu tentangnya.
Dia sekarang berada di depanku. Aku baru saja meminta maaf atas keterlambatanku dengan bahasa Indonesia yang jauh dari sempurna. Dia tersenyum dan menanyakan bagaimana kabarku.
Apabila seorang Indonesia bertanya kabar maka jawaban yang paling sopan adalah “saya baik-baik saja, terima kasih. Dan anda?”.
Dan lawan bicara kita akan menjawab “saya baik-baik juga”.
Kecuali jika kamu mau menjawab dengan jawaban pendek seperti “baik. Anda?”
Dan biasanya lawan bicaramu akan menjawab dengan pendek juga “baik, terima kasih.” Sekedar keterangan singkat dariku.
Tapi Anis tidak menganjurkan aku untuk menjawab dengan pendek. Karena dia senang jika aku dan bule lain berbicara bahasa Indonesia terus menerus. Katanya kami harus memperlancar kemampuan bahasa kami. Ini baik untuk berhubungan dengan orang Indonesia.
Anis berumur sekitar 24 – 25 tahun. Dia lulusan sebuah universitas lokal di sebuah kota yang bernama Samarinda. Samarinda kata Jason temanku, terletak dua jam perjalanan dari Balikpapan. Dan itu adalah kota yang payah, berdebu dan kotor. Jason juga bilang bahwa “Balikpapan is away much better than Samarinda”. Dan aku percaya dia, karena orang ini hampir tidak pernah berbohong.
Anis mengingatkanku akan tokoh Christopher Boone dalam novel karangan Mark Haddon. Chris adalah anak autis berumur 14 tahun yang cerdas dan berbicara seperti seseorang yang membaca buku. Teratur, sistematis, dan menjunjung tinggi pola-pola S-P-O-K. Dia suka keteraturan dan kerutinan. Dan Anis suka itu. Dia akan mengerutkan dahinya kalau aku datang terlambat. Dia akan protes kalau aku tidak menutup pintu kelas D sebelum aku duduk. Dan dia selalu memastikan kelas dalam keadaan rapi dan menyusun letak buku-bukunya yang miring sebelum kelas dimulai.
Anis mengenakan selembar kain yang melindungi rambutnya. Mereka menyebutnya jilbab. Kadang-kadang kainnya berwarna hitam, biru, putih dan kuning. Aku pernah bertanya apakah itu ada maknanya. Dan dia menertawakan aku sambil berkata tidak. Dia memilih warna-warna kainnya sesuai suasana hatinya hari itu. Itu saja.
Hari ini Anis mengajarkan aku tentang “apa, siapa, bagaimana, dan kenapa.” Semuanya masih membingungkan. Terutama karena aku tidak latihan setiap hari. Dan juga karena semua orang di kantor ini bisa bahasa Inggris. Jadi aku berpikir mengapa kita harus berbicara bahasa Indonesia kepada mereka jika mereka mengerti bahasa kami.
Anis benci cara berpikirku dan dia berkata bahwa semua orang Indonesia saja dapat berbahasa Inggris, mengapa kita tidak belajar untuk bisa bahasa Indonesia. Dia menambahkan kalimat yang membuatku tertawa : “You should be ashame!”
Kelasnya berjalan menyenangkan. Dan aku suka anak ini.
Aku menyangka aku menyukainya hanya karena dia pintar. Ternyata tidak juga. Dan ini sedikit gila karena dia sama sekali jauh dari gadis-gadis yang aku inginkan. Tapi perasaan ini semakin kuat dan membuatku seperti menggeleng-gelengkan kepala dan berkata seperti ini : God, I don’t believe this!”
Pekerjaan-pekerjaan datang dan pergi. Training-training lain berlangsung sangat cepat. Trainer-trainer ku menjadi sangat sibuk. Pak Petrus, seorang trainer diutus ke Sangatta karena pada bulan ini begitu banyak kecelakaan-kecelakaan kerja yang terjadi akibat kelalaian para supir. Dia akan pergi ke sana dan mengajar devensive driving training.
Pak Dini, seorang psikolog yang bekerja di bawah training centre juga diberangkatkan ke sana untuk menyelidiki apa yang sedang terjadi. Teman-temanku sesama expat di lokasi memang paling tidak suka pekerja yang lalai. Mereka akan dengan segera menyikapi semuanya. Tepat seperti yang sekarang terjadi.
Kemarin Anis dikirim ke Satui karena site menghendakinya. Ada banyak expat yang ingin belajar bahasa Indonesia dan mereka belum punya trainer untuk itu. Apabila permintaan akan training bahasa membludak, disertai dengan peserta yang juga banyak, maka site akan mempertimbangkan untuk merekrut seorang trainer Bahasa.
Tapi lucunya, Anis malah bilang bahwa itu tidak perlu karena dia tidak akan punya kesempatan untuk bepergian gratis kalau semua site punya seorang trainer. Dan aku hanya bisa tertawa.
Aku tahu ada beberapa bule yang beristrikan orang Indonesia. Temanku Dave mempersunting sekretarisnya sendiri. Sam mengawini baby sitternya. Dan di televisi aku melihat beberapa artis Indonesia tampak menggandeng orang bule dan tidak lama, tersebar berita bahwa mereka resmi menikah.
Aku merasa itu masih jauh dari pikiranku. Dan jika memang hal itu akan terjadi padaku, maka Anis yang akan kupilih. Bukan karena dia satu-satunya wanita Indonesia yang aku kenal, karena aku telah mengenal banyak orang. Juga bukan karena aku kurang pergaulan dan jarang ke pesta-pesta seperti bule-bule lain.
Anislah yang membuat ini semua terjadi.
Mungkin tidak akan semudah yang dibayangkan, tapi kalau masa itu datang, aku akan dengan sabar berusaha mendapatkannya.

(Dini 2004)

Walaupun sedih karena harus berhenti dari pekerjaan yang memberiku jiwa itu -sesungguhnya aku merasa hidup dengan bekerja:( aku berusaha menata hati dan mencoba membiasakan diri dengan kehidupan baruku yang sepi. Menjadi ibu rumah tangga tidaklah mudah. Cenderung membosankan dan cukup mengenaskan. Apalagi kalau kau sudah pernah merasakan nikmatnya sibuk tenggelam dengan pekerjaan.
Masih dalam suasana membiasakan diri itu, datang keberkahan dalam bentuknya yang lain. Mungkin Tuhan ingin menghiburku, atau mungkin ingin memberiku kesibukan. Aku akhirnya hamil dan aku bahagia. Aku menulis dengan girang.


Rasanya Hamil

Hamil rasanya menyenangkan. Karena memikirkan ada sesuatu di perutmu. Karena setiap bangun pagi kamu akan mengelus perutmu dan ingat kamu sedang hamil. Waktu mau tidur kamu juga menutup mata, merangkai doa atau harapan apa saja yang baik-baik dan mencoba menyalurkannya vertikal ke Yang Maha Esa dan horizontal ke anakmu itu.

Hamil rasanya menakjubkan karena biasanya kuat dan jarang sakit, dan sekarang jadi sakit. Mual, mules, pusing, morning sickness, perasaan pengen muntah dan penyakit malas. Hamil rasanya menakjubkan karena ada yang berubah. Ingat mama yang pernah merasakan ini semua. Rasa senang bisa merasakan apa yang mama rasakan dulu.

Hamil rasanya segalanya. Rasanya Dwindria Dini banget. Rasanya terbang. Rasanya awan biru, putih. Rasanya punya sayap yang lebar. Kita mau makan apa saja agar anak tumbuh cerdas, sehat, kuat dan pintar. Buah, sayur, jus buah, susu, coklat, es krim, abon, kerupuk, jeruk, semua untuk anak. Tapi kalau semua yang kita makan keluar lagi. (baca: muntah)..wah kesel banget!

Hamil rasanya punya mimpi yang kita berdoa kuat-kuat supaya itu jadi kenyataan. Mimpi anak kita sholeh, sholehah, tumbuh jadi anak yang baik, cerdas, berilmu, rendah hati, tidak sombong, bermanfaat untuk umat, menjaga kehormatan keluarga, sayang orang tua, berguna untuk bangsa, dan ratusan mimpi yang kita tulis di otak, dan kita sebut ketika berdoa malam-malam.

Hamil rasanya senyum. Kalau ke warnet yang dicari nama anak Islami dan mengamati segala yang tertera di sana lamat-lamat. Kalau baca yang bagus, tersenyum. Kalau dapat yang aneh, mengernyitkan dahi:) Hamil rasanya ingin berbagi ke sesama teman yang hamil. Info bagus tentang tumbuh kembang janin, nama anak yang keren, info nutrisi, info buku untuk dibaca. Segalanya.

Hamil rasanya disayang dan dipercaya. Hamil Cuma Dia yang tahu kapan. Kalau diberi kehamilan berarti Dia merasa kita mampu dan ini suatu kehormatan luar biasa. Kita tidak ingin mengecewakanNya dan menjaga titipanNya dengan baik.

Hamil rasanya jadi orang lain. Cari-cari perhatian, sok menderita padahal nggak terlalu sakit :)) Pengen diperhatikan, pengen disayang-sayang, dipegang tangannya sering-sering. Pengen dipijetin leher belakangnya kalau lagi muntah, dan diambilkan air putih setelah muntah.

Hamil menguji kesabaran meski terkadang sulit.
Jalanan rusak berat....sabar
Jalanan macet………sabar
Bau mesin mobil dan polusi…….sabar
Ditinggal suami ke laut…sabar
Suami nggak sensitif kebutuhan istri….(susah) sabar :p

Hamil idealnya menjadi ajang mencari ridho Allah SWT dengan bisa sabar menghadapi masalah duniawi yang kecil-kecil. Tapi aku belum lulus yang satu ini.

(Dini Ags 2005)


Di tempat tinggalku yang baru, aku masih berhubungan dengan teman-teman kantorku yang kutinggalkan. Sesekali rasa rindu menyelinap. Dan bila rasa itu datang maka aku akan menumpahkannya ke dalam sebuah tulisan dan mengirimkannya lewat email. Penerimanya adalah orang-orang yang saat itu aku pikirkan.


Bagaimana

Bagaimana menggambarkan perhubungan ini
terpisah jarak ribu kilo
tapi nafas mereka terasa masih
dan canda mereka terdengar lamat

Bagaimana menggambarkan perasaan ini
menangis dengar kabar baiknya
tertawa baca email lucunya
soalan hidup jadi terobati

Bagaimana menggambarkan persaudaraan ini
seperti terlahir tuk saling temu
dan tertakdir tuk saling jauh
semestinya tak saling melupa

(Dini 2005)


Kamu.

Kamu ada
untuk menceritakan apa yang terjadi seharian
untuk menyambung candaku dengan candamu
dan untuk pura pura tertawa walau itu tidak lucu

Kamu ada
untuk berteriak diam bila ku terlalu banyak bicara
untuk menepuk pundakku bila ku terlalu diam
dan untuk ingatkan bahwa ada gosip yang belum diceritakan

Kamu ada
untuk yakinkan bahwa aku tidak sebodoh yang aku pikir
untuk hiburku bahwa soalanku bukanlah yang terberat
dan untuk arahkanku ke mall bila semuanya terasa tidak baik-baik saja

Kamu ada
untuk kesal karena warna baju dan jilbab yang salah hari ini
untuk protes koleksi bajuku yang tidak pernah tambah
dan untuk bujuk uang gaji yang seharusnya dihabiskan di hari itu juga

Kamu ada
untuk arahkanku mengenal banyak warung
untuk melahap lebih banyak makanan
dan untuk yakinkan bahwa berat badan bukan masalah

Kamu ada
untuk membarengi lagu yang padahal ingin kugumamkan sendiri
untuk melencengkan nada yang sudah benar
dan untuk mengganti lirik-liriknya karena lupa

Kamu juga ada
untuk tertawa bersama
untuk menangis bersama
untuk wudhu bersama
dan untuk lupa sholat bersama, kadang kadang :' )

Kamu ada
dari tak kenal menjadi kenal
dari dekat menjadi jauh
dari teman menjadi saudara
dan dari biasa menjadi sayang

( Dini 2005)

Ada kalanya hati ini merutuk. Terutama kala suami tidak di sisi karena bertugas di lautan. Ada kalanya diri tidak bersyukur dengan karunia, kemudahan dan limpahan rizki yang berkecukupan. Ketika sunyi mencekam dan diri tak berhasil mengobati kebosanan, lahir puisi ini.


Kemewahan yang sunyi


Kemewahan yang sunyi,
yang apabila boleh memilih, tak kan kupilih.

Kemewahan yang sunyi,
mengantarkanmu pada rumah yang besar tanpa penghuni,
pada langit-langit yang ribuan kali ku tatap,
pada teralis kamar yang mengurungku dengan senang,
mempersilahkan aku menikamati:
kemewahan yang sunyi

Bahkan desir angin terdengar jelas,
semut berbisik, debu bergeser,
hela nafas menjadi teman setia.
Di kemewahan yang sunyi waktu pun berjalan tidak bersahabat.

Di kemewahan yang sunyi,
tidak ada yang perlu kau risaukan.
Rumah yang selalu bersih,
pembantu yang mencium kakimu,
uang yang mengabdi padamu.
Tidak ada yang perlu kau risaukan,
kecuali sunyi itu sendiri.

Apabila kau ingin mati pelan-pelan,
silahkan datang ke kemewahan yang sunyi.

(Dini 2006)


Tapi dikala mata dihibur oleh hadirnya si buah hati, kala jiwa disirami oleh segarnya senyum dan canda tawanya itu, rasa sepi tergantikan oleh rasa syukur tiada tara. Hadirnya seorang anak bagiku seperti teman saja. Aku bercerita apa saja kepadanya. Biasanya senyumnya menyambut ceritaku. Ada kalanya ia jatuh sakit dan hari-hariku menjadi mendung. Aku mengumpamakan hari itu seperti pusiku ini.


Senyuman Kamal

Kalau dia tidak tersenyum
Cahaya matahari enggan menembus dedaunan
Sinarnya menjadi temaram terlukis di bumi
Angkasa kehilangan warna biru dan putihnya
Awan-awan tidak bergeser, karena angin tidak bertiup

Kalau dia tidak tersenyum
Burung-burung berhenti berkicau
Angsa-angsa enggan turun dan berenang
Riak danau tidak terlihat tenang
Sunyi senyap alam bersedih

Kalau dia tidak tersenyum
Para malaikat saling berpandangan
Sayap-sayapnya berhenti mengepak
Bulan dan bintang mengerutkan kening
Pelangi menjadi hitam putih

(Dini 2006)


Menjelang hari dimana anakku akan berusia satu tahun, (oh dia sudah satu tahun melihat dunia dan aku sudah satu tahun menjadi ibu!:)))) aku menulis surat untuknya. Surat yang aku harap akan dibacanya sesegera setelah dia bisa membaca. Aku berharap, tulisan yang pertama kali dibaca adalah tulisanku ini. Bapaknya juga membuat tulisan-tulisan harapan untuknya.


Untuk Kamal

Binaran matanya benderang, hantarkan ribuan kunang-kunang keluar dari indahnya dua mata.
Kuncup hidungnya wakilkan seribu kuncup bunga-bunga mekar di musim semi. Pantas dibingkai rapinya raut wajah.
Riuh rendah tawanya buat malaikat Tuhan menari tiupkan aroma surga.
Gerak tubuhnya kalahkan Apollo 13 yang meluncur merobek angkasa, porak-porandakan awan, geser angin, tinggalkan gagahnya asap membumbung tinggi.
Seorang Kamal, gerakannya tidak terbendung.
Tuhan bisa jadi tidak ciptakan ‘lelah’ pada tubuhnya:)

Kamal,
rasa sayang ibu seperti membuncah-buncah tidak bertepi.
Seperti langit dan mungki seperti pelangi yang ujungnya masih jadi rahasia.
Memeluk Kamal seperti ingin menyatukan dua raga, melebur tubuh sebelas bulannya dengan tubuh ibu.
Mencium lembut pipinya adalah kenikmatan dari setiap detik di satu tarikan nafas yang sangat panjang.

Menyayangi Kamal, memiliki Kamal,
adalah sensasi yang tidak pernah ibu rasakan sebelumnya. Itu adalah menyayangi benih yang dipilih Tuhan, diletakkan di rahim Ibu, tumbuh sehat dan keluar dengan mudah. Sungguh sebuah ciptaanNya yang maha dahsyat.

Memandangi tubuh kecilnya seperti membaca ciptaanNya.
Mencipta Kamal adalah ketika musim semi singgahi singgasanaNya, ketika cuaca baik, angin semilir tenang, laut biru mengayun, dan ketika cinta memenuhi langit ketujuh. Suasana hatiNya baik.


Kamal sayang,
Seribu satu doa dan pengharapan kami, iringi langkah hidupmu.

(Dini April 2007)

Ketika Pak Amien Rais, bapak reformasi datang ke Balikpapan dalam rangka mengulas buku terbarunya berjudul Agenda Mendesak Bangsa, Selamatkan Indonesia, aku hadir bersama suami, anak, dan kedua orang tuaku. Itu adalah momen-momen yang membahagiakan sekaligus berharga. Berharga karena aku sangat mengagumi sosok beliau dari dulu hingga sekarang yang secara konsisten memperjuangkan reformasi Indonesia, juga berharga untuk alasan: bisa membahagiakan papa dengan hadir ke acara-acara seperti itu. Aku tahu papa bahagia, dan aku bersyukur mengajaknya ke acara itu.
Setelah menonton seminar bedah bukunya, aku menulis tulisan yang tidak cukup tajam, lugas, dan terpercaya dan benar-benar bukan gayaku:)))


Amien Rais : personifikasi nasionalisme Indonesia yang sesungguhnya.
(Yang tersisa dari acara seminar dan bedah buku “Agenda Mendesak Bangsa, Selamatkan Indonesia”)

Menyaksikan Amien Rais dalam acara bedah buku tanggal 6 Juni 2008 kemarin adalah pengalaman yang sangat berharga dan tidak terlupakan. Sebagai salah satu warga Indonesia yang (sejak dulu) mengagumi sosok Amien, aku merasa beruntung karena bisa mendengar secara langsung pemaparan beliau yang akurat, berbobot, tajam, mendalam, detail dan dalam. Semua yang dibicarakan sangat berarti tanpa ada yang sia-sia. Fakta-fakta baik yang numerikal maupun realistis disajikan dari awal hingga akhir. Beliau dengan wawasannya yang seluas samudera, benar-benar: mengerti apa yang terjadi, mengungkapkannya tanpa tedeng aling-aling, berusaha membuat semua orang “bangun”, dan tidak cukup sampai disitu, beliau juga memberi solusi terbaik untuk membenahi bangsa Indonesia.

Walaupun kemarahan bertaburan disana-sini, tapi aku dan mungkin juga para peserta seminar tidak melihatnya sebagai kemarahan yang membabi buta nan emosional. Bukan pula kemarahan yang membuahkan ucapan-ucapan yang tidak logis nan kemana-mana. Aku melihatnya sebagai kemarahan sebagai bukti rasa cinta pada Indonesia. Tetap terkontrol, tetap menyajikan bukti dan fakta, tetap bernada suara rendah, yang membuat semua orang yang hadir mengerti dan terus menyimak semua yang diucapkannya.

Sebagai pribadi, pak Amien Rais menulis sebuah buku yang mencerahkanku sebagai orang Indonesia. Sejak pertama membaca buku itu, seperti yang sudah seharusnya terjadi, aku menjadi gundah dan prihatin. Di sana dipaparkan berbagai masalah bangsa, carut marutnya kondisi kita dan ketimpangan-ketimpangan serta kecurangan-kecurangan yang terjadi di negeri ini. Membacanya seperti putus asa dan malu menjadi warga Indonesia. Semuanya sangat menggemaskan hati.

Kemudian aku lalu membayangkan, bagaimana dengan pikiran pak Amien yang seratus persen mengerti apa yang sedang terjadi kalau aku yang hanya mengerti sekelumit saja sudah putus asa. Pastilah beliau memikirkan banyak hal di dalam benaknya. Maka yang terpancar keluar, menurutku adalah wajah seseorang yang pemikir.

Aku masih berharap Amien bisa memimpin Indonesia. Walaupun dari pernyataannya beliau sudah tidak tertarik untuk mencalonkan diri :

"I may not renominate myself in the 2009 general elections," Amien said after speaking in a symposium at the Surakarta Muhammadiyah University here Wednesday.Amien said he was still thinking of a new paradigm for Indonesia.According to him, the formulation of a new paradigm will be presented to the younger generation who want to offer themselves as presidential candidates in the 2009 general elections.In a discourse about a duet of General Chairperson of the Indonesian Democratic Party of Struggle (PDIP) Megawati Soekarnoputri and General Chairman of Muhammadiyah moslem organization Din Syamsuddin, Amien said that would be a good combination."Pak (Mr) Din is a young figure who is flexible and popular. He also has adequate international experience," Amien said.Pertaining to Megawati`s political tour, he said it was a good activity provided that it was done proportionally. (antara.co.id)

Aku juga berharap bukan SBY atau kepemimpinan model SBY yang jadi presiden kelak. Untuk membawa Indonesia dengan masalahnya yang sudah seakut ini dan yang –bak penyakit kanker, telah berada di stadium atas, diperlukan sosok Amien Rais atau sosok sepertinya. Sosok yang berani, berwibawa, berharga diri, berkarakter kuat and so and so. Dan aku tidak sendiri. Metro TV mengadakan semacam jejak pendapat mengenai calon presiden yang rakyat Indonesia inginkan. Pada polling itu, Amien Rais menduduki peringkat ketiga. Semoga saja pak Amien bisa melangkah ke kursi kepresidenan. Bila rakyat menginginkan, hal ini mungkin saja terjadi walaupun Amien tidak punya kendaraan politik. Presiden Iran, Ahmadinejad menjadi presiden hanya dengan suara rakyat, bukan suara partai.


Apa yang harian lokal tulis tentang acara kemarin:

1. www.tribunkaltim.com

Cagub Harus Membuat Buku Program Kerja
Tokoh reformasi, Amien Rais, memang terkenal kritis sejak era Alm Presiden Soeharto. Di bawah kepemimpinannya, MPR bisa melakukan empat kali amandemen yang semula begitu tabu. Kini, beragam kritik ditujukannya pada pemerintah. "Semuanya untuk menyelamatkan Indonesia," ujarnya pada Tribun . Tribun ini berkesempatan melakukan wawancara singkat dengan Amien Rais usai ia membeda buku terbarunya; "Agenda Mendesak bangsa; Selamatkan Indonesia!" di Hotel Pacific, Minggu (6/7).
Pak Amien, bentuk perubahan startegis apa yang mungkin dilakukan dalam momentum Pilgub Kaltim?
Dalam penyelenggaran proses politik (baik Pilkada maupun Pilpres), kita menghendaki seluruh kandidat memiliki pemikiran dan konsep yang riil dan konkrit. Kita tidak perlu berputar-putar dalam norma, ide, atau daftar keinginan. Kita butuh kandidat yang membumi, dengan program yang konkret, realistis, dan masuk akal. Jangan sampai kandidat hanya berpikir bagaimana meraih kursi kekuasaan, namun berubah setelah berkuasa.
Dalam bentuk teknis?
Konkritnya, kandidat harus dikondisikan. Debat satu jam di TV sudah baik, namun tidaklah cukup. Belajar dari negara maju, setiap kandidat harus menyusun buku program kerja yang konkrit dalam aspek politik, ekonomi, diplomasi, sosial, hankam, dan hukum. Tujuannya, agar rakyat bisa menagih dan mengkonfrontasikan; apakah program yang dijalankan sesuai dengan yang ditawarkan. Bila tidak sesuai, ya kandidat hanya bohong-bohongan saja.
Upaya apa yang urgen dilakukakan masyarakat Kaltim untuk menyelamatkan daerahnya?
Kaltim adalah daerah yang sangat kaya SDA. Pemerintah pusat dan daerah harus dijewer sekeras- kerasnya oleh masyarakat sendiri, bila mereka menjual murah SDA Kaltim kepada pihak luar. Jangan sampai Otonomi Daerah sekadar menjadi pemindahan korupsi dari pusat ke daerah. Yang akan terjadi, daerah melakukan pesrta korupsi dengan jalan mengangkut minyak, gas, dan batu bara kepada korporasi asing melalui jalan yang tidak diketahui masyarakat.
Untuk mencegahnya?
Maaf, biasanya terjadi kolusi antara eksekutif dan legislatif dalam penjualan SDA kepada pihak asing. Karena itu, LSM, ormas, maupun Parpol harus benar-benar meniup peluit bila terjadi hal-hal yang aneh di Kaltim. Eksekutif dan legislatif harus dipantau. (kholish chered)

DESAKAN dari berbagai kalangan untuk merevisi kontrak-kontrak pertambangan dan migas akhir-akhir ini memang semakin gencar. Ada yang meminta nasionalisasi aset, kenaikan royalti, dan audit produksi tambang. Turut angkat bicara adalah Amin Rais saat bedah buku terbarunya, Agenda Mendesak Bangsa: Selamatkan Indonesia di Hotel Pacific, Balikpapan, Minggu (6/7).
"Saya selalu mendapat pertanyaan dari pers asing sejak tahun 80-an, mengapa mayoritas penduduk Indonesia miskin, padahal kekayaan alamnya melimpah. Dahulu saya bisa menjawabnya dengan mengatakan jumlah penduduk Indonesia terlalu besar, sehingga sulit mewujudkan kesejahteraan untuk seluruhnya. Namun kini jawaban tersebut terbantahkan dengan keberhasilan Cina dan India menjadi kekuatan baru ekonomi dunia di tengah membludaknya penduduknya," ujar Amien.
Amin menyatakan bahwa faktor utama yang mengakibatkan negara ini selalu miskin adalah selama ini kekayaan alam Indonesia diberikan bahkan dihadiahkan kepada pihak asing.
"Saya akan memberikan 100.000 rupiah tunai bagi Anda bila bisa menyebutkan sektor negeri ini yang tidak dikuasai pihak asing," tantang Amien pada ratusan audiens yang memenuhi ruang Zambrut, Hotel Pacific.
"Ternyata tidak ada. Mulai dari pertambangan, pertanian, pendidikan, atau perbankan hampir semuanya dikuasai asing. Yang paling utama adalah sektor pertambangan dan migas. Minyak kita bukannya menjadi berkah, malah menjadi kutukan. Meminjam istilah Joseph Stiglitz, bukannya oil blessing, malah oil curse," tambah Amien.
Faktanya, lanjut Amien, perusahaan migas nasional hanya mampu menambang maksimal 75.000 barel minyak per hari, sedangkan sisanya dikuasai perusahaan asing.
Sebagai solusi, Amien meminta kepada pemerintah untuk berani melakukan negiosiasi ulang kontrak pertambangan. "Berdasarkan pengkajian yang mendalam, hampir seratus persen kontrak pertambangan merugikan Indonesia. Padahal sektor itulah sumber kekayaan negara!" tegasnya. "Kita harus belajar dari Bolivia, Venezuela, Malaysia, Saudi Arabia, Kuwait, dan negara lain yang berani melakukan negosiasi ulang," tambahnya.
Amien menegaskan, bila Indonesia berani melakukan negosiasi ulang, dan membuat formulasi yang lebih menguntungkan Indonesia dan merampingkan keuntungan asing, Indonesia akan mendapatkan pemasukan tambahan sekitar 88 miliar dolar AS. "Masak kita hanya puas dengan menikmati pajak dan royalti, sementara pihak asing asyik menikmati kekayaan bumi kita," tambahnya.
Untuk teknis negosiasi ulang, Amien mengakui memang ada kaidah pacta sunt servanda yang mewajibkan seluruh pihak yang membuat perjanjian untuk taat sepenuhnya pada isi kontrak. "Namun jangan lupa pula klausul rebus sic stantibus yang berupa peluang untuk mengubah isi perjanjian, bila dalam perjalannya perjanjian tersebut merugikan salah satu pihak. Sekarang, tinggal menunggu keberanian pemerintah. Apakah mereka mampu meniru jejak Evo Morales (Presiden Bolivia) yang mampu membuat seluruh perusahaan tambang 'tunduk' untuk melakukan negosiasi ulang hanya dalam dua hari?," kata Amin.
Perlu 5 Tahun
Sebelumnya, pemerintah melalui Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro, mengaku siap menegosiasi ulang seluruh kontrak pertambangan di Indonesia agar lebih sesuai dengan kondisi saat ini. Tapi sebelum seluruh kontrak itu bahas lagi, ada empat syarat yang harus terpenuhi.
Syarat pertama, pemerintah perlu waktu setidaknya selama lima tahun untuk menegosiasikan kembali semua kontrak tersebut. Hal apa saja yang akan dinegosiasi ulang pun akan ditentukan kontrak per kontrak. "Karena setiap kontrak kan isinya berbeda," jelasnya.
Syarat kedua, negosiasi ulang kontrak tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini. Syarat ketiga, setiap perubahan kontrak harus disetujui oleh oleh para pihak. Jika ada perubahan selama perjanjian sudah dipenuhi
Syarat keempat, perubahan kontrak tidak meniadakan hak-hak para pihak. "Jadi ada empat syarat itu sebelum dilakukan perubahan kontrak," kata Purnomo.
Perubahan kontrak ini terkait berbagai perubahan dalam UU Minerba yang tengah dibahas. Di dalam UU tersebut ada klausul mengenai masa peralihan agar kontrak-kontrak yang sudah ada sebelum UU ini lahir mau mengikuti perubahan di UU.
Namun Purnomo menambahkan, negosiasi ulang kontrak tersebut sebaiknya tidak masuk dalam UU Minerba yang tengah dibahas karena hal-hal yang akan dinegosiasi ulang berbeda tiap kontrak. (m22/dtc)

2. www.kaltimpos.web.id

Disinggung Kaltim Merdeka, Amin Tegas MelarangBedah Buku The Angry Book Kupas Persoalan KemiskinanBangsa yang kaya potensi alam, subur, dan memiliki hutan tropis ke dua terbesar setelah Brazil, kok bisa miskin? Pertanyaan itu jadi fokus utama dalam buku yang diluncurkan mantan Ketua MPR RI Amin Rais yang bertajuk Agenda Mendesak Selamatkan Bangsa.
LATAR belakang buku yang dijuluki The Angry Book itu dipaparkan Amin di Hotel Pacifik, pukul 14.00 Wita, Minggu (6/7) kemarin. Sebelumnya, Guru Besar Ilmu Sosial Politik itu juga mengisi Tabligh Akbar di Pesantren Al Mujahidin kilometer 10 Karang Joang.
Buku tersebut memaparkan secara kritis persoalan mendasar, kenapa bangsa Indonesia dilanda kemiskinan terus-menerus yang dalam buku itu dikutip data Badan Pusat Statistik mencapai 39,05 juta atau 109 juta versi Bank Dunia.
Selain itu, dalam bukunya Amin juga memotret permasalahan utang luar negeri yang mencapai miliaran dolar AS. Padahal secara logika dengan potensi alam yang dimiliki, Indonesia bisa menjadi lebih makmur dari sekarang.
“Kita dijuluki dengan negeri Jamrud Khatulistiwa yang memiliki hutan tropis kedua terbesar di dunia,” sebut Amin, pada seminar yang digelar Keluarga Muhammadiyah Balikpapan itu.
Menurut dia, berlimpahnya kekayaan alam Indonesia seperti migas dan batu bara, tidak menghasilkan kemaslahatan bagi umat, tapi sebaliknya menjadi kutukan bagi masyarakat. Amin mengilustrasikan dengan kondisi Kaltim sebagai daerah penghasil minyak, tapi masyarakatnya kesulitan memperoleh minyak. Begitu juga dengan persoalan byar-pet yang belum tuntas, padahal batu bara berlimpah. “Kenapa bisa terjadi? karena kita belum merdeka,” tegas mantan ketua PP Muhammadiyah itu.
Amin yang didampingi Ketua Muhammadiyah Balikpapan Rusdiman itu juga menyebutkan, bangsa Indonesia masih dibayang-bayangi intervensi asing. “Coba saya tanya masih adakah sektor yang dikuasi bangsa? Mulai dari perbankan, migas dan sektor lain sudah dikuasai asing,” terangnya.
Kekayaan Kaltim, kata Amin, seharusnya menjadi bermanfaat bagi masyarakat Kaltim. Kalau tidak berarti kita harus…“Kaltim Merdeka” potong audiens serempak. Mendengar jawaban itu Amin langsung sewot. “Bukan itu, saya juga tidak setuju kalau Kaltim merdeka,” tegas Amin yang diikuti gelak tawa peserta bedah buku.
Dalam buku bersampul merah tersebut, ada 14 solusi konkrit yang ditawarkan Amin, namun dalam kesempatan itu ia hanya memaparkan 3 hal terpenting saja. Yaitu harus dipersiapkan leadership baru yang tidak bermental inlander, negosiasi ulang kontrak kerja sama migas dan non-migas yang tidak menguntungkan bangsa, serta cabut Hak Pengusahaan Hutan (HPH). “Sisanya silakan baca sendiri di bukunya,” imbuhnya. (devi alamsyah)

(Balikpapan 7 Juli 2008, tulisan seorang Ibu Rumah Tangga yang peduli Indonesia)

Setelah hampir puluhan tahun mengabdi di sebuah perusahaan swasta, akhirnya berita tentang pensiunnya mama, aku sambut dengan gembira. Hatiku yang bersyukur dan lega aku curahkan ke sebuah puisi dan aku kirimkan lewat pos. Tulisanku ini benar-benar tulisan yang paling banyak menguras air mata karena aku benar-benar menghayati perjuangan mama selama ini. Aku juga sertakan ucapan selamat ulang tahun untuknya. Semoga tetap sehat dan makin disayang Allah SWT. Amien.

Untuk Mama

Mama,
teriring ucapan selamat disertai rasa syukur berhiaskan kebahagiaan.
Terlantun doa berselimut rasa hikmat lamat-lamat di dalam hati.
Kelegaan menyusup di kalbuku tentang hari itu
Hari dimana tuntas sudah perjuanganmu menghidupi anak-anakmu

Mama,
Walau aku jalin awan-awan di langit, aku rajut menjadi tulisan “terima kasih” yang besar,
itu tidak akan sanggup mewakili terima kasihku.
Walau aku lukis tanda hati dengan air laut, itu tidak akan cukup menggambarkan cintaku.
Walau ribuan bintang-bintang berpijar menyatu mengumandangkan sayang, itu tidak akan bisa mewakili buncahan sayangku.

Mama,
puluhan tahun perjuanganmu, tenaga, akal dan pikiranmu,
tumpahan keringat, tetesan air mata, keletihan dan luapan emosimu.

Mama,
puluhan tahun menguras diri, mengorbankan jiwa ragamu,
memikul beratnya tanggung jawab, menahan lelah, sedih dan kejamnya himpitan pekerjaanmu.

Mama,
dan untuk puluhan tahun waktumu menghidupi anak-anakmu,
tidak akan ada imbalan yang setimpal kecuali surga.

Untuk mama yang hebat sedunia,
aku hanya bisa berdoa untuk waktu yang terhampar di masa depan…

(Dini 2008)

Sayangnya berita bahagia pensiunnya mama, disambung dengan berita akan pindah rumahnya mama dan papa ke Jawa. Ini membuatku gundah karena kecenderunganku yang ingin bersama mereka di sisa hidup. Masih dengan sedih, di tengah malam, pada saat semua orang terlelap, aku menulis ini dengan sangat cepat bagai dalam satu tarikan nafas saja. Aku benar-benar tidak ingin. Tidak ingin. Tidak ingin mereka pergi..


Apakah salah ingin mengasuhmu di sisa hidupmu?
Apakah salah ingin berdekatan denganmu meski aku sudah menikah?
Apakah salah ingin memuaskan hasrat berbaktiku dengan tinggal bersamamu?
Apakah salah ingin ada pada saat sakit dan sedihmu?
Pada saat susah dan senangmu? Ingin jadi yang pertama tahu dan menolongmu pada saat-saat tersulit?
Apakah salah?


Dan pada saat aku yang kini sudah semakin dekat, dan engkau menjauh..apakah salah kalau aku merasa sangat sedih dan terluka?
Pada saat –dengan ajaib, Allah mengatur aku yang kini di Balikpapan dan ternyata engkau malah menjauh,...apakah salah kalau aku mengemis untuk menyuruhmu jangan pergi?


Ini mama ini papa, aku sembahkan cucumu, kalau ini yang membuatmu bahagia..
Ini mama ini papa, aku silahkan asuh cucumu, kalau ini bisa buatmu tinggal..
Aku lakukan apa saja agar kau bisa di sini, dekat di sisi
Ini mama ini papa, tangis lukaku, sesak dadaku. Tolong dengarkan.


Tinggallah bersamaku sampai akhir hidupmu. Aku sayang kalian. Tolong jangan pergi lagi. Aku ingin mendoakanmu dengan kau yang tersentuh tanganku. Bukan mendoakanmu dengan kau yang jauh dan tak tersentuh..

(Dini 2008)


Masih dalam suasana yang sentimentil. Didukung dengan sunyi senyapnya malam, semua kondisi malam itu seperti mendukungku untuk terus meratap, yah sesuatu yang sebenarnya kurang baik. Aku kemudian teringat masa-masa kecil yang bahagia. Pada saat semua masih utuh dan menyenangkan. Jauh halnya seperti sekarang. Semuanya seperti telah bercerai berai. Menyedihkan. Semoga saja kondisi ini bukan sesuatu yang tak berujung. Aku bermimpi, keluarga kecilku akan utuh seperti dulu kala.


Tragedi sebuah keluarga

Ini adalah tragedi dalam sebuah keluarga kecil
Seorang anak sulung hilang dari pelukan
Waktu membawanya pergi dan tak kembali

Sang mama meratap menyesali diri
Diri yang kehilangan anak begitu cepat

Sang papa menyalahkan diri
Diri yang merasa salah mengasuh anak

Sang adik menyesali keadaan
Keadaan yang terbolak balik

Di setiap kesempatan
Tragedi ini dibicarakan sang mama dan adik
Dibicarakan dengan diam-diam
Dengan penuh luka

Sang papa berkata
Usahlah dibicarakan lagi
Hanya buang-buang waktu saja
Ini salahku
Jangan diperdebatkan

Sang mama sudah lama tidak menangis
Sudah kering air matanya
Apatis ia menyikapi tragedi ini

Sang adik kini punya anak lelaki
Bertekad menjaga si anak
Agar tragedi keluarganya tidak akan terulang lagi

(Dini 2008)


Sekarang, aku sedang giat-giatnya mencapai keinginanku berikutnya. Menembus redaksi sebuah koran ibukota yang menyediakan kolom cerpen anak. Dengan mencoba menembus redaksi Koran itu aku membangun kepercayaan diri menulisku yang semakin lama semakin runtuh.
Semua terasa mudah sekarang setelah suami tercintaku menghadiahkan sebuah laptop untuk menulis. Bayangkan! Seorang ibu rumah tangga dengan laptop di tangan. Sungguh sangat mengada-ngada bukan? Masih bisa diterima jika kalimatnya seperti ini: “seorang mahasiswa dengan laptopnya”, atau “seorang eksekutif muda dengan laptopnya”, atau “seorang wanita karier dengan laptopnya”. Tapi yang satu ini, ibu rumah tangga dan sebuah laptop adalah seperti seorang tunawisma dengan rumah tinggal yang mewah. Sangat berkelakar.
Dengan kemudahan ini, aku berharap aku bisa melakukan lagi apa yang aku suka. Menulis lagi dan bila mungkin membantu membentuk watak anak-anak Indonesia yang membaca cerpen karyaku, menjadi lebih baik.

Kakek, Aku Bangga Padamu

Riska berlari menghambur menuju pelukan ibunya yang sedang menjahit. “Ibuuu..Riska kesal, Riska sedih!” Riska memendamkan kepalanya di dada ibunya.
Ibu Riska yang sedang menjahit kaget, dan dengan bijak mengangkat dagu anak semata wayangnya itu.
“Ada apa Riska? Ada masalah di sekolah?” tanya ibu Riska sembari tersenyum. “Dibuka dulu dong sepatunya. Tasnya letakkan dulu di kamar.”
Riska menuruti perintah ibunya dan masih dengan bersungut-sungut menuju kamarnya yang kecil. Tak berapa lama, Riska yang telah berganti baju, keluar. Ibunya yang sudah menunggu di ruang tamu melipat baju pelanggan yang sedang dijahitnya.
“Tadi di sekolah, teman-teman Riska yang kemarin belajar bersama di sini, membahas tentang Kakek. Kata mereka, mereka nggak mau lagi belajar ke rumah Riska. Takut sama Kakek. Muka Kakek serem!” Riska bercerita panjang lebar.
Ibu yang sedari tadi menyimak, menarik nafas panjang.
“Riska, apapun kata teman-temanmu tentang Kakek, Riska harus tetap sayang dan hormat sama Kakek. Jangan menilai seseorang dari luarnya saja. Teman-teman Riska pasti belum tahu, dibalik wajahnya itu, Kakek adalah orang yang sangat baik dan tulus.” Ibu Riska berusaha memberi pengertian.
“Riska malu, Bu. Sudah beberapa hari ini, teman-teman selalu mengejek Kakek. Si Tia malah heran, kok bisa Kakek yang wajahnya seperti itu, punya cucu cantik kaya Riska.”
“Luthfi juga pernah bilang, konsentrasi belajar bisa buyar kalau melihat Kakeknya Riska”
Riska bercerita sambil menitikkan air mata yang sedari tadi ditahannya.
Ibu Riska memeluk erat tubuh anaknya itu. Dibiarkannya Riska menangis di dadanya.
Semenjak nenek Riska meninggal satu bulan yang lalu, Kakek memang tinggal di rumah keluarga Riska. Kakek memang kurang beruntung. Wajahnya cacat akibat masa lalunya yang kelam. Kakek ikut berperang melawan penjajah. Akibat peperangan itu, Kakek Riska tidak hanya kehilangan wajahnya yang tampan, tetapi juga kaki kanannya.
Fadhil, abang Riska, menyambut gembira kedatangan Kakek. Kakek sering menceritakan sejarah Indonesia kepada Fadhil. Fadhil yang memang tertarik pada pelajaran Sejarah merasa bertemu langsung dengan salah satu pahlawan Indonesia yang selama ini hanya dibacanya di buku pelajaran.
Berbeda dengan Riska, semenjak Kakeknya ada di rumah, Riska merasa jumlah teman yang sudi bermain ke rumahnya jadi berkurang. Dalam hati, Riska menyalahkan Kakeknya.
“Riska...” Kakek memanggilnya dari dalam kamar.
Dengan enggan Riska memandang ibunya. Ibunya memberi isyarat dengan anggukan kepala. “Sana, temui Kakekmu. Mungkin Kakek mau minta tolong.”
“Riska, Kakek minta air putih hangat, ya.”
Dengan langkah gontai Riska beranjak ke dapur dan mengambil segelas air. “Ini, Kek.”
Perlahan Kakek bangkit dari tempat tidur dan meminum air putihnya.
“Riska, tiba-tiba Kakek teringat pada seorang teman seperjuangan di medan laga. Namanya Cipto. Cipto masih sangat muda, tapi semangat juangnya sangat menyala-nyala. Malah jauh melampaui kami-kami yang lebih tua. Dia sudah Kakek anggap seperti adik sendiri.” Kakek bercerita dengan lirih.
“Waktu itu 10 November 1945, Kakek, Cipto, para pemuda, buruh, dan semua lapisan masyarakat ikut berjuang, menghadang tentara Inggris yang mulai melancarkan serangan besar-besaran. Kira-kira ada sekitar 30.000 serdadu, 50 pesawat terbang tumpah ruah di Surabaya. Berbagai bagian kota Surabaya dihujani bom, ditembaki secara membabi-buta dengan meriam dari laut dan darat. “ Kakek berhenti sebentar.
“Riska bisa bayangkan bagaimana kacaunya suasana pada waktu itu. Kakek merasa perlu terus mendampingi Cipto yang masih muda. Karena itu Kakek sebisa mungkin berlari di belakang Cipto.”
“Makanya ketika seseorang melempar granat ke arah Cipto, Kakek bisa dengan sigap mendorong Cipto sejauh mungkin. Akibatnya ya ini….” Kakek menunjuk wajah cacatnya dan kaki kanannya dengan terkekeh-kekeh.
“Riska, Kakek nggak menyesali apa yang terjadi. Walaupun Kakek juga nggak memilih untuk menjadi cacat. Kakek minta maaf ya kalau membuat Riska malu sama teman-teman Riska.” Kakek mengelus lembut rambut Riska. Rupanya sedari tadi Kakek mendengarkan keluhan Riska kepada Ibunya.
Riska menangis terisak-isak sambil memeluk Kakeknya. Tiba-tiba ia merasa sangat bersalah. Kakeknya cacat karena rasa sayangnya pada seorang adik.
“Kakek, Riska minta maaf...Riska...” Riska tidak kuasa melanjutkan kata-katanya. Dalam hati ia teramat bangga punya Kakek seorang pejuang kemerdekaan. Ia bertekad untuk membuang rasa malunya jauh-jauh. Ia bersyukur masih diberi kesempatan oleh Tuhan untuk bertemu dengan Kakeknya yang hebat ini.

(Dini 2008)
 

Simply Dini Copyright © 2011 Designed by Ipietoon Blogger Template and web hosting