Jumat, 29 Agustus 2008

M. Amien Rais

Prof. Dr. H. Amien Rais lahir di Solo, 26 April 1944 adalah politikus Indonesia yang pernah menjabat sebagai Ketua MPR periode 1999 - 2004. Jabatan ini dipegangnya sejak ia dipilih oleh MPR hasil Pemilu 1999 pada bulan Oktober 1999.

Namanya mulai mencuat ke kancah perpolitikan Indonesia pada saat-saat akhir pemerintahan Presiden Soeharto sebagai salah satu orang yang kritis terhadap kebijakan-kebijakan Pemerintah. Setelah partai-partai politik dihidupkan lagi pada masa pemerintahan Presiden Habibie, Amien Rais ikut mendeklarasikan Partai Amanat Nasional (PAN). Ia menjabat sebagai Ketua Umum PAN dari saat PAN berdiri sampai tahun 2005.

Sebuah majalah pernah menjulukinya sebagai "King Maker". Julukan itu merujuk pada besarnya peran Amien Rais dalam menentukan jabatan presiden pada Sidang Umum MPR tahun 1999 dan Sidang Istimewa tahun 2001. Padahal, perolehan suara partainya, PAN, tak sampai 10% dalam pemilu 1999
Awal karir
Lahir di
Solo pada 26 April 1944, Amien dibesarkan dalam keluarga aktivis Muhammadiyah yang fanatik. Orangtuanya, aktif di Muhammadiyah cabang Surakarta. Masa belajar Amien banyak dihabiskan di luar negeri. Sejak lulus sarjana dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta pada 1968 dan lulus Sarjana Muda Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta (1969), ia melanglang ke berbagai negara dan baru kembali tahun 1984 dengan menggenggam gelar master (1974) dari Universitas Notre Dame, Indiana, dan gelar doktor ilmu politik dari Universitas Chicago, Illinois, Amerika Serikat.

Kembali ke tanah air, Amien kembali ke kampusnya, Universitas Gadjah Mada sebagai dosen. Ia bergiat pula dalam Muhammadiyah, ICMI, BPPT, dan beberapa organisasi lain. Pada era menjelang keruntuhan Orde Baru, Amien adalah cendekiawan yang berdiri paling depan. Tak heran ia kerap dijuluki Lokomotif Reformasi.
Terjun ke politik
Akhirnya setelah terlibat langsung dalam proses reformasi, Amien membentuk Partai Amanat Nasional (PAN) pada 1998 dengan platform nasionalis terbuka. Ketika hasil pemilu 1999 tak memuaskan bagi PAN, Amien masih mampu bermain cantik dengan berhasil menjadi ketua MPR.
Posisinya tersebut membuat peran Amien begitu besar dalam perjalanan politik Indonesia saat ini. Tahun 1999, Amien urung maju dalam pemilihan presiden. Tahun 2004 ini, ia maju sebagai calon presiden dan meraih hampir 15% suara nasional.

Pada 2006 Amien turut mendukung evaluasi kontrak karya terhadap PT. Freeport Indonesia. Setelah terjadi Peristiwa Abepura, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Syamsir Siregar secara tidak langsung menuding Amien Rais dan LSM terlibat dibalik peristiwa ini. Tapi hal ini kemudian dibantah kembali oleh Syamsir Siregar.

Pada Mei 2007 ia mengaku bahwa semasa kampanye pemilihan umum presiden pada tahun 2004 ia menerima dana nonbujeter Departemen Perikanan dan Kelautan dari Menteri Perikanan dan Kelautan Rokhmin Dahuri sebesar Rp200 juta sekaligus menuduh bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden lainnya turut menerima dana dari departemen tersebut, termasuk pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla yang kemudian terpilih sebagai presiden dan wakil presiden.
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Kamis, 28 Agustus 2008

Puisi Ibu buat sekolahnya Kamal:)

Kala hitam melegam kelam
Menjemput petang diam-diam
Lamat teringat Jabalussalam
Renungan diri di satu malam

Berdiri anggun bagai pualam
Menentang zaman yang kian suram
Mereguk cinta nan riuh redam
Menghantar salam menepis dendam

Ada rahmat di Jabalussalam
Lembut mengalun bagai kalam
Menyelimut batin hingga tentram
Meraup hidayah dalam-dalam

Teruntai doa rapi tersulam
Tuk sekolahku Jabalussalam
Ya Allah pemilik kini dan silam
Mohon pimpin langkahnya selayak imam


Balikpapan, 29 Agustus 2008
01.20

Rabu, 20 Agustus 2008

Perayaan Tujuh belas Agustus di Jabalussalam


20 Agustus 2008 menjadi hari yang semarak di Jabalussalam. Semaraknya Jabalussalam seperti didukung oleh turunnya hujan dari rongga-rongga langit. Seakan alam juga ingin meramaikan perayaan Tujuh belas-an di sekolah itu. Bahkan hujan yang turun tidak mampu membendung arus teman-teman dari TK dan KB yang ingin merayakan hari ini. Satu persatu mereka tiba di sekolah. Turun dari dalam kendaraan pengantar dengan memakai jas hujan yang lucu dan berwarna warni. Payung-payung mengembang ikut menghantarkan kedatangan mereka. Senyum menghiasi wajah-wajah mungil. Orang tua dengan hangat menggenggam jari mereka, menggandeng tangan mereka, seolah mampu menghilangkan rasa dingin yang mendera tubuh-tubuh kecil itu.

Para panitia lomba di hari itu sudah berkumpul semenjak pukul 7 pagi. Walapun tidak semua tepat waktu. Beberapa memang harus mendahulukan keluarga sebelum berangkat ke sekolah. Apalagi bagi yang tidak punya mbak yang membantu. Maka ibu-ibu lain mempermaklumkan hal ini.

Riuh rendah panitia tidak kalah heboh dengan teman-teman kecil. Ibu ketua mondar-mandir memastikan semua berjalan seperti yang diharapkan. Mereka dari masing-masing divisi juga memastikan semuanya lancar. Divisi acara memeriksa ruangan tempat lomba, memastikan hadiah, kupon, jadwal lomba, penjaga stand. Divisi bazaar memastikan lokasi bazaar, meja display, mericek peserta bazaar, dan lainnya. Divisi konsumsi sibuk memasukkan kue-kue ke dalam kota, memeriksa minuman, memastikan jumlahnya, mengecek daftar penerima konsumsi, dan mengangkutnya ke lokasi pembagian makanan. Semua tampak tekun. Malah terkadang ada yang lupa tersenyum. Beberapa masih mampu bersenda gurau. Canda tawa yang khas Ibu-ibu sekali.

Keikhlasan terasa begitu dekat manakala melihat banyaknya donasi yang masuk. Di Jabalussalam, keikhlasan bukan jargon semata. Begitu dahsyatnya arus penyumbang sampai-sampai Komite mengeluarkan dana yang tidak begitu banyak. Hadiah-hadiah lomba tertangani langsung dengan donatur. Begitu juga dengan konsumsi. Souvenir, kupon, dus makanan, minuman, semua yang besar-besar hingga yang kecil, tuntas dengan kegotong-royongan para donatur.

Alhamdulillah, semangat merayakan Tujuh belas Agustus di Jabalussalam memang mengagumkan. Bukan sekedar simbolik saja bila dresscode panitia pada saat itu adalah merah putih. Aura giat memperjuangkan suksesnya acara jelas tampak pada kinerja panitia. Aura yang sama juga terlihat dari teman-teman kecil yang ramai mengikuti semua lomba yang digelar. Hadiah-hadiah dengan cepat berpindah tangan dari panitia ke peserta lomba. Kalah menang semua dapat. Senyum-senyum senang menyertai penyerahan hadiah. Bahkan di pintu masuk utama pun anak-anak sudah dimanjakan dengan souvenir kecil berupa pensil yang lucu.

Ibu-ibu bahagia dapat membahagiakan anak-anaknya. Guru-guru tersenyum melihat anak didiknya tenggelam dalam suasana lomba (melihat dedikasi guru-guru Jabalussalam selalu menjadi renungan sendiri di hati penulis).

Ketekunan seluruh panitia di hari itu berbuah berjalan lancarnya acara. Di akhir doa penutup hari itu, kepala sekolah Jabalussalam mengucap terima kasih. Beliau berujar, tahun-tahun sebelumnya, acara-acara sejenis ini menjadi kerja para guru. Sehingga terkadang guru sampai harus pulang larut malam. Namun karena Komite baru, pekerjaan guru menjadi lebih ringan. Alhamdulillah.

Kepada semua anggota Komite 2008, selamat ya:)


Selasa, 19 Agustus 2008

Sanggar Senam Meiviata

Ber aerobic ria tidak pernah saya pikirkan sebelumnya. Walaupun ketika SMU, aerobic sudah lekat di hidup saya. Salah dua orang teman sekolah, ibunya mengajar di sebuah klab aerobic. Sejak SMU, saya lebih senang ikut olahraga yang berjenis beladiri. Seperti taekwondo atau latihan pernapasan, yang dulu hingga sekarang beken dengan sebutan latihan pernapasan tenaga dalam. Ketika menikah dan sudah mengalami masa melahirkan, menyusui, dan membesarkan anak, terlebih lagi, sudah menjalani hidup sebagai ibu rumah tangga, maka pilihan olahraga menjadi berbeda. Saya sendiri takjub dengan bergesernya pilihan ini. Namun yang pasti dan yang jelas, saya masih suka olahraga.

Sebagai wanita yang sedari kecil sudah dikaruniai oleh yang Maha Pencipta, kumpulan tulang-tulang yang besar, daging-daging yang tebal di sekujur tubuh, berat badan yang mudah sekali naik dan merupakan gabungan dari dua orang tua yang juga besar-besar, maka, olahraga menjadi w.a.j.i.b hukumnya. Bagaimana mungkin tetap mengunyah makanan tiap hari namun kalori tidak dibakar. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana tubuh ini kelak. Jadi prinsipnya memang: tiap harinya kalori h.a.r.u.s dan w.a.j.i.b dibakar. Entah cuma setengah jam atau satu jam. Lepas dari berhasil atau tidaknya lemak-lemak tubuh dibakar, pokoknya bergerak sajalah. Bakar yang sudah kamu makan!

Begitulah. Dulu ketika gadis, pilihan olahraga sangat banyak. Melakukannya pun tidak begitu malas. Jgging, jalan cepat, tennis, badminton, tenaga dalam, taekwondo, and so and so, namun sekarang setelah badan bertambahberat, dan umur bertambah tua, belum lagi mental yang tidak pede kalau mau ikut salah satu klub beladiri, maka pilihan olahraga menjadi sempit. Lari dan jogging masih bisa dilakukan, tapi lama-lama bosan juga membunuh waktu dengan hanya berlari selama itu. Maka saya mencoba aerobic. Awalnya ikut klub yang dekat rumah saja. Rupanya itu adalah klub yang paling mewah di kota ini. Pesertanya ibu-ibu tajir dengan baju-baju senam yang mahal. Gerakannya pun seperti tidak dirancang untuk pemula yang bodoh dan idiot seperti saya. Gerakannya rumit dan eksotis. Tersengal-sengal saya menirunya.

Setelah survey di tempat lain, saya mencoba masuk ke sanggar senam Meiviata. Di sanggar senam ini, saya menemukan apa yang saya cari. Gerakan yang lebih mudah dan gampang ditiru. Lebih berpower tanpa perlu melakukan gerakan-gerakan seperti penari. Hey! Kita kan disini untuk mengeluarkan keringat. Tak perlulah mempercantik gerakan tapi keringat tidak keluar. Menurut saya lebih baik berpower, gampang diikuti, jadi keringat banyak keluar, tanpa perlu memusingkan rumitnya gerakan.

Adapun, teman-teman baik nan sederhana yang saya dapat di Meiviata, saya anggap sebagai bonus nomor dua. Saya kagum dengan semangat mereka untuk melawan takdir, memupuk harapan agar mendapat badan yang sehat. Saya mendapat teman-teman yang menyemangati saya agar tetap jadi diri sendiri. Dengan harga bayar yang tidak mahal, saya merasa dapat paket lengkap dari Meiviata. Tinggal bagaimana menyeret tubuh ini agar tiap hari tidak malas bermotor ke Meiviata. Karena kadang-kadang godaan untuk tidak olahraga banyak sekali. Apalagi olahraga berarti harus meninggalkan anak barang sejam. Wah, sejam terasa setahun bila tidak dekat anak.

Banyak hal yang bisa menjadi cambuk untuk memukul pantat agar segera memacu motor ke Meivuiata. Antara lain adalah :
1. Mama yang sekarang sakit-sakitan karena kurang bergerak. Mana maulah saya menjadi sakit-sakitan di masa tua nanti.
2. Ketika mandi dan ketika menyabun badan. Terasa bahwa lemak sudah all over the place. Time to go exercising. Biasanya itu jadi cambuk yang sangat handal. Hahaha!
3. Anak. Ketika melihat anak, saya ingin jadi ibu yang sehat untuk dia kelak. Jadi ketika dia tumbuh besar, saya juga tumbuh tua, tapi badan tidak jadi loyo tergerus zaman. Saya akan cukup segar untuk melihat dia menua.
4. Iklan TV. Media sudah berhasil mencetak biru ukuran cantik bagi wanita. Bagi media, wanita cantik adalah wanita yang putih dan langsing. Coba saja lihat. Ada berapa wanita yang menjual image wanita gemuk untuk iklan kecantikan? Tidak ada. Rupanya saya sudah termakan iklan, jadi diri merasa harus menjadi wanita-wanita kurus di Tv itu. :p Masalah nasehat ibu-ibu bijak di Meiviata, yah kadang-kadang menjadi nasehat yang masuk di telinga kiri, ngacir ke telinga kanan. Mana ada sih wanita yang tidak ingin kurus???

Jadi Dini. Sebaiknya tetap semangat. Selagi masih ada rezeki, selagi masih bisa bayar biaya senam yang Rp 100.000 tiap bulannya, maka senamlah!

Selasa, 12 Agustus 2008

Generasi larva : Memulai seratus tahun kedua

Salah satu produk populer di ”dunia gaul” dari 100 tahun kebangkitan bangsa kita adalah idiom ”Indonesia banget!”. Bahasa tubuh dan mimik yang mengungkapkan istilah itu mengungkapkan konotasi negatif.
Mungkin sekali saya salah, tetapi sering kali saya merasakan bahwa ”Indonesia banget” adalah kata ganti untuk semacam perilaku negatif, yang sehari-hari atau bahkan untuk kasus-kasus dalam skala yang lebih besar. Misalnya, buang sampah sembarangan, melanggar peraturan lalu lintas, merokok di no smoking area, tidur saat rapat atau sidang, koruptor tak terhukum, umbar janji pemilihan, bahkan pada kasus tertentu: ngiler bisa dikomentari ”Indonesia banget lu!”.
”Output” cinta
Sampai umur 29 tahun sekarang, tidak saya peroleh ”peluang menjadi pahlawan”, misalnya, dengan berjuang melawan Jepang atau Belanda. Tidak mengalami secara langsung Sumpah Pemuda, Kebangkitan Nasional, juga Proklamasi Kemerdekaan.
Ketika Reformasi terjadi, saya kesepian kuliah di Edmonton Kanada Utara tanpa seorang teman Indonesia pun. Bisa nama para menteri saja kurang dari 10 persen yang saya tahu. Tapi, saya yakin tidak ada satu pun para pendiri Indonesia yang menginginkan kata ”Indonesia” dilibatkan dalam idiom negatif ”Indonesia banget!”. Mereka pasti sedih kalau hidup cukup lama dan tahu hal ini.
Tapi, tolong jangan bilang saya tidak sedih, meskipun saya belum pernah menjadi ”aktivis nasionalisme” secara ”formal”. Juga jangan berani bilang saya tidak cinta Indonesia—meskipun, terus terang, memang saya menemukan masalah serius dalam hal ”mencintai Indonesia”.
Kalau mencintai seorang perempuan, sedikit mudah mencerna apa yang sebenarnya saya alami: suka bentuk tubuhnya, sikapnya, prinsipnya, kecerdasannya, hatinya, atau gabungan semuanya. Setelah mempelajari dan memperoleh kejelasan latar belakang orang yang saya cintai itu, akan saya tindak lanjuti dengan langkah berikutnya: mendapatkan cintanya, me-maintain cintanya, dan memastikan bahwa output dari semuanya adalah keluarga yang sakinah mawaddah warohmah, kalau perlu, keluarga madani.
Itu semua frame yang relatif sederhana. Akan tetapi, cintaku kepada Indonesia itu jenis yang mana? Kalau tahap itu belum jelas, mau menindaklanjuti dengan cara bagaimana? Output bagaimana yang saya harapkan?
Bagaimana agar Indonesia bisa dicintai
Terkadang ada satu hal fundamental yang saya selalu pertanyakan: ”diri”-ku yang primer itu ”diri” yang mana? Diri ”Noe”, diri ”anak band”, diri ”penikmat fisika dan matematika”, diri ”Muslim”, dan banyak dimensi identitas lainnya. Bahkan mana yang lebih utama aku sebagai diri ”anak ibuku” atau diri ”anak ayahku”.
Untung itu bukan pertanyaan check-point seperti dalam ujian nasional. Itulah kekayaan dinamis proses kehidupan setiap orang. Dan kalau kita bicara Indonesia dengan kebangkitannya, langsung saja terasa yang paling nyata adalah bahwa diriku adalah bagian dari Indonesia. Dan cara berpikir yang saya pilih bukan bagaimana cara mencintai Indonesia, tapi bagaimana agar Indonesia bisa dicintai. Minimal oleh diri Indonesia sendiri. Di situlah wilayah kontribusi ”bagian dari Indonesia” kepada ”Indonesia”. Subyek utamanya, tujuannya, output-nya adalah ”Indonesia”, sedangkan si ”bagian dari Indonesia” hanya kontributor.
Seratus tahun yang lalu, 20 Mei 1908, yaitu tanggal berdirinya Budi Oetomo, dikenang sebagai tonggak kebangkitan nasional. Merefleksikannya ke zaman ini, pertanyaan pertama (dan cliché) adalah: setelah seratus tahun, apakah kita sudah benar-benar bangkit?
Saat itu, membaca dari buku sejarah, dua kata kunci yang memicu semangat kebangkitan bisa ditarik langsung dari dua kata kunci: eksploitasi dan diskriminasi. Waktu itu diskriminasi termanifestasi dengan adanya kesenjangan dengan obyek : pribumi-nonpribumi. Eksploitasi terutama terdefinisikan (secara kasuistik) dengan tindakan Pemerintah Hindia-Belanda yang menggunakan uang orang Indonesia untuk merayakan ulang tahun kemerdekaan negerinya. Hal ini direspons oleh Ki Hadjar Dewantoro dengan artikelnya Als ik Nederlander was (seandainya saya orang Belanda), yang membawanya langsung ke penjara. Sebuah simbol perjuangan yang menebalkan polaritas dan membangkitkan semangat bersama.
Siklus alam dan lingkaran setan
Saat ini: untuk mengukur langsung tingkat kesuksesan semangat Kebangkitan Nasional, akan akurat jika mengukur dari dua kata kunci tersebut. Apakah di zaman sekarang masih ada yang namanya eksploitasi dan diskriminasi (negatif)?
Kita semua sadar pentingnya semangat kebangkitan, kita sadar kita ingin keluar dari stigma tersebut. Tapi, terlihat secara nyata dari pengalaman seratus tahun ini bahwa ada sebuah proses (bisa kita sebut lingkaran setan) dan dengan kedua ”setan” ini terpelihara dan justru terkembangbiakkan. Tidak hilang, tapi malah terlestarikan.
Contohnya dalam dunia pendidikan: ketidaksadaran akan pentingnya pendidikan (kesejahteraan guru, dana pendidikan tidak maksimal)—pendidik tidak mampu bekerja maksimal—murid terdidik dengan tidak maksimal—generasi/SDM lemah—ketidaksadaran akan pentingnya pendidikan, dan seterusnya. Diskriminasi terhadap hak pendidikan membawa degradasi generasi.
Kalau salah satu nilai yang dijunjung tinggi demokrasi adalah persamaan hak berkompetisi untuk setiap individu, padahal modal pendidikan (menjadi terdidik) adalah syarat utama untuk mampu berkompetisi tidak dapat terpenuhi (diskriminasi terjadi saat ada korelasi antara ”biaya pendidikan” dan ”kualitas pendidikan”), kita harus menyelesaikan persoalan ini dahulu sebelum berhak bicara banyak soal demokrasi.
Contoh lain dalam lalu lintas informasi: informasi tidak lengkap—salah persepsi—salah reaksi—salah sasaran—salah konklusi—disinformasi/informasi tidak lengkap. Eksploitasi disinformasi akan memperpanjang disinformasi, dan secara langsung memperpanjang kesempatan eksploitasi.
Beberapa generasi terlewati, tetap dalam lingkaran ini dan tetap tertunggangi oleh stigma-stigma ini. Yang kemudian melahirkan banyak masalah turunan yang begitu luas, akut, dan semakin sulit teridentifikasi akar masalahnya (apalagi pemecahannya). Belum ditambahi dengan budaya kita yang lebih suka menggariskan kebenaran dari norma dan bukan nilai.
Nyamuk dan generasi larva yang mandiri
Telur-larva-pupa-nyamuk-telur-larva. itulah lingkaran hidup nyamuk. Untuk memberantas nyamuk dibutuhkan cara yang efektif untuk memotong lingkaran hidup nyamuk ini sehingga lingkaran itu tidak bisa berputar secara komplet. Begitulah yang saya pelajari di SD.
Sepertinya tidak terlalu far fetched kalau kita mengadopsi cara berpikir yang sama. Dibutuhkan sebuah metode untuk memecahkan lingkaran setan ini. Masalah utamanya ternyata adalah ketidaksadaran posisi kita sebenarnya ada di mana. Mungkin sebenarnya kita sudah masuk di lingkaran tersebut. Mungkin lebih santun disebut: generasi saya, generasi muda. Sebentuk generasi larva yang terdesain sedemikian rupa untuk menjadi nyamuk di masa depannya.
Ketika beribu demo sudah dilakukan, ketika tenggorokan sudah kering berteriak tuntutan, ketika kita bingung sendiri kita baru saja menuntut apa, ketika sudah kehabisan orang yang dituntut untuk melakukan perubahan, ketika kita capai sendiri dan dengan sukarela memilih jadi salah satu dari yang dulu pernah kita benci. Sepertinya tidak ada pilihan lain: setelah larva adalah pupa dan jika berumur sedikit lebih panjang, kita akan menjadi nyamuk. Selesai.
Selesai?
Mungkin tidak kalau saja kita memulai sedikit berani. Kalau saja semua larva memutuskan untuk tidak mau menjadi bagian dari lingkaran hidup nyamuk. Kalau saja generasi larva ini beramai-ramai mendeklarasikan bahwa dirinya bukanlah larva dan tentu saja tidak menganut sifat-sifat ”kenyamukan”. Demo kali ini bukanlah berpawai ribuan orang dengan tuntutan-tuntutan yang diteriakkan. Demo yang ini adalah menyatakan jati diri dan sikap bahwa kita bukanlah larva. Kita adalah generasi baru dengan sikap dan pemikiran yang baru. Generasi ini menolak menjadi nyamuk, generasi ini generasi yang mandiri dan memilih menjadi garuda. Seharusnya dengan sikap dan pemikiran antitesis dari permasalahan selama ini.
Adalah dibutuhkan sebuah generasi mandiri (bukan hanya kontinuasi dari generasi sebelumnya) yang mau dan mampu mengubah dirinya sendiri, dan lepas dari lingkaran-lingkaran setan. Tak perlu menuntut nyamuk untuk berubah menjadi sapi. Tapi, kita pastikan kita tidak akan menjadi nyamuk, tapi menjadi generasi garuda yang sakti. Siapa tahu tahun 2008 sekarang ini adalah awal dari 100 tahun kedua dengan paradigma kebangkitan yang sudah berbeda dan tak kalah kreatif dari perintis 100 tahun pertama.
”Tidak mudah” itu pasti. ”Tidak mungkin” itu salah persepsi.
Deklarasi, petisi, hanya salah satu cara untuk memberi ”bendera” pada kebersamaan. Deklarasi menjadi mentah jika ia hanya menjadi simbol. Deklarasi akan menjadi sangat kuat bila ia menjadi ruh dari sebuah tekad yang ditanggungjawabi dalam bentuk sikap/tindakan secara bersama-sama. Tindakan adalah refleksi dari sikap. Sebelum ada tindakan semestinya datang dari pemikiran yang cermat, bersih dan obyektif. Sebuah pemikiran semestinya dilandasi sebuah nilai (tidak selalu norma) yang kita sepakati bersama sebagai sebuah kebenaran. Tanpa ada pernyataan nilai yang disepakati dan diusung bersama, ruh tindakan tidak akan hidup cukup panjang untuk membuat sebuah perubahan.
(Noe Letto)

Senin, 11 Agustus 2008

B.U.K.U

Saat menulis Andy’s Corner ini, saya sedang berada di sebuah café di sudut toko buku Borders di Sydney, Australia. Suasana café yang tidak begitu luas terasa hangat dan menyenangkan. Pengunjung café ada yang sibuk ngobrol, tapi lebih banyak yang asyik membaca. Saya betul-betul menikmati “oase” sore itu, di tengah hiruk pikuk kota Sydney. Sambil menyeruput capucino, pikiran saya menerawang ke rekaman Kick Andy episode “Dengan Hati Melihat Dunia”. Di episode tersebut, Kick Andy menampilkan sejumlah tunanetra yang luar biasa. Dalam keterbatasan fisik, mereka tetap menjalani hidup dengan optimistis. Bahkan boleh dikatakan prestasi mereka melebihi orang normal. Rama, misalnya, walau buta sejak balita, ternyata mampu mengembangkan keahliannya sebagai sound enginer yang handal. Bahkan dia mendapat kepercayaan dari perusahaan animasi kartun Marios Bros di Jepang untuk mengerjakan ilustrasi musik untuk permainan komputer yang dikeluarkan perusahaan tersebut. Di episode itu juga tampil empat tunanetra yang membuat situs Kartunet.com (Karya Tuna netra. com) yang berisi karya-karya para tunanetra. Namun yang menggangu pikiran saya saat ini adalah pernyataan Irwan Dwi Kustanto, salah satu tunanetra yang tampil di episode itu. Pada saat itu, Irwan yang mengalami kebutaan sejak usia sembilan tahun mengungkapkan perasaannya. Seakan mewakili perasaan para tunanetra lainnya, Irwan mengatakan walaupun oksigen begitu banyak di sekitar mereka, yang bebas dihirup kapan saja, toh mereka merasa sesak. Perumpamaan itu dia utarakan untuk menggambarkan apa yang dirasakan para tunanetra berkaitan dengan buku. “Buku begitu banyak di sekitar kami, tetapi kami tidak bisa membacanya,” ujar Irwan, yang mengaku waktu mahasiswa terpaksa meminta teman-teman kuliahnya yang normal untuk membacakan buku baginya. Walau tidak persis seperti Irwan, ketika mahasiswa saya juga mengalami perasan yang sama. Buku ada di sekeliling saya, tapi tidak semua bisa saya baca atau miliki. Buku menjadi barang mewah. Saya harus menabung sampai tiga bulan untuk bisa membeli sebuah buku. Jangankan untuk buku biasa, untuk buku wajib yang dipersyaratkan dosen saja tidak terbeli. Kadang ada kawan yang berbaik hati menggandakan buku-buku tersebut untuk saya. Kalau tidak ada, maka saya terpaksa harus ke perpustakaan Soemantri Brojonegoro di Kawasan Kuningan, Jakarta. Hampir setiap hari saya menyalin isi buku sampai tangan pegal. Kalau petugas perpustakaan menawarkan jasa fotokopi, saya selalu mengelak. Mana saya punya uang untuk fotokopi? Saya ingat betul buku paling mahal yang pernah saya miliki waktu itu ada dua. Pertama, “Kamus Umum Bahasa Indonesia” (KUBI). Buku kedua adalah “100 Tokoh yang paling Berpengaruh di Dunia”. Begitu berharganya kedua buku itu sehingga saya menyampulinya dengan plastik dan menyimpannya baik-baik. Sampai saya berhenti kuliah, yang berhasil saya beli dan jadikan “koleksi” tidak lebih dari 20 buku. Sejak itu, di bawah alam sadar saya, ada “dendam” yang terus mengikuti langkah saya. Suatu ketika nanti, jika mampu, saya akan membeli buku sebanyak-banyaknya. Begitu suara hati saya. Akibatnya baru terasa belakangan. Sekarang hampir setiap minggu istri saya “sport jantung” melihat belanjaan buku saya. “Apa kamu sanggup membaca buku sebanyak itu dalam seminggu?” Tanya istri saya. Setelah mendengar cerita masa lalu saya, sekarang istri sudah bisa memahami dan “menutup mata” terhadap kebiasaan saya membeli buku. Walau dia tahu buku-buku itu tak akan habis terbaca bahkan dalam sebulan. Jika sekarang, melalui Kick Andy, saya bisa membagi-bagi buku, maka tak terkata kebahagiaan saya. Apalagi jika buku itu jatuh ke tangan mereka yang betul-betul membutuhkan. Mereka yang merasa sesak di tengah oksigen yang melimpah. Mereka yang melihat begitu banyak buku di sekitarnya tetapi tak sanggup memiliki. Pada awalnya, banyak penonton yang meragukan program bagi-bagi buku ini. Bahkan mereka yang beberapa kali mencoba mengikuti undian buku di website ini tapi tidak juga beruntung, menuduh program bagi-bagi buku gratis ini hanya akal-akalan alias penipuan. Saya nyaris menghentikan program bagi-bagi buku ini. Untung teman-teman tim kreatif Kick Andy meminta saya untuk tidak cepat patah semangat. Dari cuma 40 buku yang dibagi pada awalnya, kini sudah 100 buku yang bisa diakses melalui website pada setiap episode. Ini di luar 300-an buku yang dibagikan kepada penonton di studio. Belakangan semakin banyak respon positif yang kami terima. Termasuk dukungan dari para penerbit. “Dendam” yang saya pendam bertahun-tahun kini mendapatkan salurannya. Karena itu, ketika sedang duduk di café di sudut toko buku Borders di Sydney, gairah saya meledak-ledak. Melihat orang-orang yang sedang asyik membaca membuat semangat saya kembali menyala-nyala. Suatu hari nanti, saya bermimpi, di setiap sudut kota, di setiap desa, di setiap kampung di Indonesia, saya melihat orang-orang yang sedang asyik membaca. Tidak perduli tua atau muda. Tidak perduli kaya atau miskin. Mereka membaca. (Andy F Noya)

Laskar Pelangi

Komentar dari penonton datang bak air bah. Ini salah satu episode Kick Andy yang mendapat respon paling banyak. Rata-rata mengatakan tayangan tersebut memberikan pencerahan bagi hati. Sebagian dari penonton -- bahkan yang belum membaca buku Laskar Pelangi -- mengaku pengalaman Andrea Hirata, sang penulis, sungguh memberi inspirasi bagi hidup mereka. Lebih dramatis lagi, banyak yang sejak menonton episode Laskar Pelangi berjanji untuk mengubah total pandangan hidup mereka. Dari putus asa menjadi penuh harapan. Dari negatif menjadi positif. Dari masa bodoh menjadi perduli pada sesama. Hati saya melompat-lompat membaca satu demi satu komentar yang masuk. Dada rasanya sesak. Sebegitu hebatkah dampak yang dirasakan penonton? Padahal Andrea sejak awal tidak meniatkan cerita masa kecilnya itu dibukukan. Anak kampung di sebuah Pulau bernama Belitong ini mulanya hanya ingin menuliskan kisah itu sebatas kenangan atas persahabatan yang tulus dari sepuluh murid SD di sebuah sekolah yang bangunannya nyaris roboh. Juga untuk penghormatannya pada seorang guru yang penuh pengabdian walau 15 tahun tidak digaji. Cerita tentang sepuluh anak SD yang sekolahnya merangkap kandang ternak ini, dan nyaris ditutup karena jumlah muridnya tidak mencapai sepuluh, ternyata berdampak luar biasa bagi sebagian pembacanya. Seorang ibu di Bandung mengirim surat agar kisah nyata itu diangkat di Kick Andy. Anak sang ibu, yang terjerat narkoba dan nyaris tidak bisa lolos dari perangkap barang jahanam itu, ternyata mampu bangkit melawan dan sembuh dari ketergantungan setelah membaca Laskar Pelangi. Moral cerita yang ditangkap dari kisah Laskar Pelangi adalah kemauan keras dari sepuluh anak-anak itu, dan juga guru mereka, untuk tidak takluk oleh keadaan yang mereka hadapi. Dalam keterbatasan -- atap sekolah bocor jika hujan dan papan tulis bolong yang harus ditambal poster Rhoma Irama -- tidak mematahkan semangat belajar mereka. Jika kemudian tokoh Lintang yang digambarkan cerdas luar biasa harus terhempas, itu lebih karena faktor di luar kemampuan Lintang untuk melawannya. Sepeninggal ayahnya, nelayan miskin yang harus menghidupi 14 anggota keluarga, Lintang terpaksa berhenti sekolah. Kandas di bangku SMP. Nasib saya seperti Lintang, sekolah kandas di tengah jalan. Setelah kematian ayah, tidak ada biaya untuk melanjutkan sekolah. Tak ada harta dan uang yang ditinggalkan seorang montir mesin tik. Kakak perempuan dengan keterbatasannya mencoba menampung dan membiayai, walau akhirnya menyerah juga. Saya kandas di tingkat tiga bangku kuliah. Drop out. Tapi masih lumayan dibandingkan nasib Lintang. Saya mensyukuri hidup karena kini saya menekuni pekerjaan yang saya cintai. Perjalanan untuk menjadi wartawan memang berliku. Tapi ada dua orang yang paling berjasa dalam memberikan pedoman dalam hidup saya. Pertama, Ibu Ana, guru saya di SD Sang Timur, Malang. Dialah yang membangun rasa percaya diri saya sebagai kanak-kanak yang tumbuh dalam keluarga broken home. Di bawah bimbingannya hampir setiap kwartal saya juara kelas. Dialah sosok yang mampu memahami dan meredam kenakalan saya. Sampai suatu hari sifat pemberontak saya kambuh. Saya malas sekolah. Hampir setiap minggu bolos. Saya lebih suka main bola dengan anak-anak kampung di pinggir stadion ketimbang ke sekolah. Suatu hari Ibu Ana ke rumah. Sudah dua hari saya tidak masuk sekolah. Dia mencarter becak untuk mencari alamat saya. Bu Ana meminta agar besok saya masuk. Ada lomba antar-bintang kelas. Dia meminta saya mewakili kelas kami. Saya tidak siap tapi Bu Ana terus mendorong. Pada harinya saya kalah. Sering bolos membuat banyak pertanyaan tidak mampu saya jawab. Bu Ana tidak marah, juga tidak kecewa. Dia mengatakan tetap bangga pada saya. 'Ibu yakin kelak kamu akan berhasil. Setidaknya dengan bakatmu, kamu bisa jadi penulis,' ujarnya. Waktu itu saya tidak paham. Saya belum punya cita-cita. Tapi pernyataan Bu Ana itu, sekian tahun kemudian, menjadi penentu saat saya menetapkan pilihan karir sebagai wartawan. Orang kedua yang berjasa 'menggiring' saya menjadi wartawan adalah Pak Bowo, guru bahasa Indonesia saya di STM Jayapura. Dia guru dadakan karena guru bahasa Indonesia mengundurkan diri. Suatu hari diadakan lomba mengarang tingkat SLTA/SMU se-Jayapura. Pada hari terakhir pendaftaran, karena tidak ada wakil STM yang ikut, Pak Bowo meminta saya mendaftar. Karangan harus masuk hari itu juga. Maka sepulang sekolah, dia menemani saya menyiapkan karangan. Bahkan mengurus makan siang saya. Padahal selama ini murid-murid STM mengenalnya sebagai guru yang galak dan tidak punya hati. Sore hari, menjelang batas akhir pengumpulan karangan, dengan vespa tua miliknya Pak Bowo mengantarkan sendiri karangan itu ke panitia. Dia sangat bersemangat. Sebelum kami berpisah, saya masih ingat ucapannya, 'Kamu punya bakat menulis. Mungkin kamu lebih cocok jadi wartawan.' Sejak itu pikiran saya selalu terobsesi untuk menjadi wartawan. Lulus sebagai juara umum dengan nilai terbaik di STM 6 Jakarta, saya berhak atas beasiswa ke IKIP Padang. Tapi saya memilih untuk melanjutkan ke Sekolah Tinggi Publisistik. Hati saya sudah mantap. Saya ingin jadi wartawan. Sekian tahun kemudian, beberapa kali saya mencoba mencari Bu Ana. Bahkan dengan bantuan teman di SD dulu. Tapi hasilnya nihil. Begitu juga Pak Bowo. Alamatnya tak terlacak. Saya ingin bertemu mereka. Saya ingin mengucapkan terima kasih. Mereka telah menunjukkan arah bagi karier dan kehidupan saya. Kehidupan yang membuat saya sekarang bahagia. Sangat bahagia. (Andy F Noya)

Kangen Band

Ketika Kick Andy hendak mengangkat topik Kangen Band, muncul reaksi dari beberapa teman. 'Apa hebatnya musik mereka sehingga ditampilkan di Kick Andy?' Rata-rata begitu komentar mereka. Seorang teman wartawan yang biasa meliput musik, juga merasa terganggu saat saya utarakan Kick Andy akan mengangkat band asal Lampung ini. 'Kualitas musik mereka buruk,' ujarnya. 'Tampang mereka juga amit-amit,' teman lain menambahkan dengan nada melecehkan. 'Nama band mereka juga gak kelas,' yang lain makin memperparah posisi band tersebut. Saya mendengar nama Kangen Band pertama kali ketika majalah Rollingstone mengadakan Private Party. Di situ vokalis Band Naif, David, secara terbuka mengecam Kangen Band. Termasuk label yang merilis album band tersebut dihujatnya. Ketika hal tersebut saya tanyakan kepada teman-teman di Rollingstone, mereka mengaku Kangen Band memang dibenci oleh banyak pemusik. Kangen Band dituduh merusak kualitas musik Indonesia. Suatu hari saya membaca artikel tentang Kangen Band di Media Indonesia Minggu. Di situ diungkapkan asal usul band yang mengorbit lewat lagu mereka Aku, Kau, dan Dia itu. Semua personilnya ternyata berasal dari keluarga yang kurang beruntung secara ekonomi. Ada yang bapaknya penarik becak atau ibunya penjaja makanan keliling. Sementara mereka sendiri ada yang dulu jualan cendol, kenek angkot, dagang sandal di kaki lima, dan kuli bangunan. Di balik cercaan bertubi-tubi yang mereka terima, album perdana mereka yang dirilis Warner Music Indonesia -- label dengan jaringan internasional -- mampu menembus angka penjualan yang spektakuler, menembus 300 ribu keping. 'Di tengah kondisi seperti sekarang dan pembajakan yang merajalela, angka itu luar biasa,' ujar Bens Leo, pengamat musik. Hati saya tergerak untuk mengangkat Kangen Band di Kick Andy setelah membaca artikel di Media Indonesia Minggu tersebut. Sukses mereka kontroversial. Musik mereka dikecam tapi album perdana mereka sukses. Di tengah beredarnya musik rap yang liriknya kasar dan kotor -- yang juga berisi ancaman akan membunuh anggota Kangen Band ini -- Kangen Band ternyata menyabet penghargaan platinum. Ketika akhirnya topik Kangen Band ini tampil di Kick Andy, reaksi yang muncul di rubrik komentar di website ini macam-macam. Ada yang mendukung tapi tidak kurang penonton yang marah-marah. Mereka yang marah mengatakan tetap sulit menerima sebuah grup musik yang tidak bermutu tampil di Kick Andy. 'Bukankah masih banyak band yang layak?' tulis salah satu pemberi komentar. Saya sendiri nyaris memutuskan untuk membatalkan penayangan topik Kangen Band ini pada detik-detik terakhir. Bukan karena band ini tidak layak tampil, tapi lebih kepada aspek teknis yang tidak memenuhi standar on air. Namun, apa yang terjadi? Setelah topik itu tayang, ratingnya luar biasa tinggi. Topik Kangen Band ini bahkan mengalahkan jumlah penonton Kick Andy ketika mengangkat wawancara khusus dengan Habibie, Wiranto, dan Prabowo Subianto. Termasuk mengalahkan rating beberapa topik favorit lainnya. Suka tidak suka itulah faktanya. Menonton Kick Andy, memang harus dengan hati. Tanpa itu agaknya kita sulit menerima ketika yang diangkat adalah Kangen Band. Bagi yang menonton dengan akal semata, mereka akan kecewa. Sebab yang dipakai sebagai ukuran adalah kualitas musik dan wajah para personil Kangen Band yang dibilang kampungan itu. Menonton episode Kangen Band dengan hati membuat kita menyadari betapa hidup itu penuh misteri. Hidup juga penuh perjuangan untuk mengapai posisi yang lebih baik. Episode itu juga membuka hati kita bahwa setiap orang punya hak dan kesempatan untuk sukses dalam kehidupan yang singkat ini. Tidak peduli dia anak tukang becak. Tidak peduli dia bekas tukang jual cendol, pedagang sandal atau kuli bangunan. Karena itu, daripada kita marah, dengki, dan menyebarkan energi negatif, ada baiknya sukses orang kita sambut dengan suka cita. Keberhasilan orang lain kita jadikan pemicu semangat untuk juga bangkit dan mengejar cita-cita. Jika semua berpikir begitu, alangkah indahnya hidup ini. (Andy F Noya)

Minggu, 10 Agustus 2008

Mama dan Papa

Aku merasa perlu untuk membuka tulisanku dengan, yup benar bahwa tidak ada manusia yang sempurna dan kesempurnaan adalah semata milik Allah SWT. Mama dan papa bagiku hanyalah dua manusia yang tak luput dari kealfaan. Namun, masih dalam konteks “hanya manusia”itu, dan dalam kapasitasnya sebagai makhluk Tuhan yang terus akan salah, mereka adalah orang tua yang sempurna untukku. Keberadaan mereka tidak akan aku tukar dengan apapun dan siapapun.

Setelah menikah dan punya keluarga kecil sendiri, setelah jauh dari mereka fisik maupun emosi, aku jadi sering mengilas balik segalanya. Pada saat aku berhubungan dengan suamiku, aku memandang dari jauh, bagaimana mama berhubungan dengan papa. Pada saat aku bicara dengan suamiku, aku mengingat bagaimana mama bicara dengan papa. Pada saat menerapkan pola asuh anak, aku menerawang ke masa kecilku dan bagaimana mama papa mengasuhku. Kian kagum aku dengan segala hal yang aku ingat dari mereka. Semua, dari berbagai spek, penuh dan sarat perjuangan.

Sekarang, aku melihat mama dan papa sebagai dua manusia yang semakin termakan usia. Seingatku tidak banyak yang berubah. Mereka masih tetap mesra, masih berbicara satu sama lain di malam hari sebelum tidur, masih menjadikan tempat tidur sebagai tempat diskusi, masih mengurai tawa satu sama lain, masih saling melontarkan humor-humor segar, mungkin masih seperti pertama kali mereka menjadi pasangan muda-walau aku tidak, belum, disana.

Aku bangga bermama papa kan mereka. Mereka adalah role model ku untuk pasangan pernikahan yang relatif bahagia.

Rabu, 06 Agustus 2008

Nurtitik Yuniartin

Dilahirkan di Surabaya pada tanggal 28 Juni 1953 subuh menjelang pagi. Ayahnya bernama M. Soeharto, seorang pekerja keras di sebuah perusahaan di Surabaya. Memegang pembukuan. Beliau dikisahkan sebagai seorang pria yang selalu rapi, dandy, dan harum. Sangat modis dan senang membeli baju-baju untuk dipakai kerja. Beliau sangat memperhatikan penampilan. Ibunya bernama Sukastin, seorang ibu rumah tangga biasa nan sederhana yang gemar dan pintar memasak. Konon pada saat mengandung janin Titik, Ibundanya pernah ngidam memegang kepalanya warga tionghoa. Jadilah si bayi Titik terlahir dengan rupa mirip orang Cina. Malah sempat dipanggil “singkek” oleh seisi keluarga.

Titik merupakan anak ke empat dari tujuh bersaudara. Saudara-saudaranya mulai dari yang tua hingga yang paling muda adalah sebagai berikut : Nur Aini Muhartin (almarhumah), Nur Ahmadi, Nur Herminiati, Nurtitik Yuniartin, Nur Sri Hartini, Nur Sri Astuti, Nur Heri Santoso.

Bila dicermati, semua nama anak memakai kata Nur. Nur sendiri artinya cahaya. Pak Suharto dan Bu Sukastin menyematkan doa dan harapan di setiap nama keturunan-keturunannya, agar bisa menjadi cahaya di dalam keluarga mereka masing-masing.

Masa kecil Titik dihabiskan di Surabaya. Pada tahun 1956-1959, Titik terdaftar sebagai murid di TK Pertiwi jalan Bawean. Kemandirian Titik sudah tampak bahkan di usia semuda ini. Ia kerap berjalan kaki ke sekolah.

Tahun 1959-1965 Titik kemudian masuk SD Katolik Mojopahit di jalan Mojopahit Surabaya. Ketika SD Titik senang sekali menyanyi. Oleh karena itu ia menjadi murid kesayangan Ibu Lilik yang memegang mata pelajaran Kesenian. Karena kedekatan mereka, Titik malah sempat dijadikan mak comblang untuk urusan kirim-mengirim surat cinta antara Bu Lilik dan Pak Guru lain.

Prestasi di sekolah cenderung biasa dan tidak istimewa. Titik kecil harus berjalan kaki dari rumah ke sekolah yang jaraknya sangat jauh. Karena itu pula ia sering telat. Karena SD Katolik menerapkan disiplin tinggi maka mereka yang terlambat sering diganjar dengan hukuman nyapu halaman. Kelelahan fisik inilah yang membuat Titik kecil ogah-ogahan sekolah dan kerap kelelahan. Nilai 4 terkadang menghiasi raport Titik.

Tahun 1965-1966 Titik memilih SMP Joyoboyo sebagai sekolah lanjutannya. Karena merasa jauh, tahun 1966-1968 kemudian Titik pindah ke SMP Ganesha yang berada di dekat rumah. Di sekolah inilah Titik mengukir banyak prestasi. Salah satunya, di kelas 2 SMP, sempat mengikuti PORSENI cabang olahraga badminton, walaupun kemudian harus dikalahkan Megawati (yang notabene adalah adik dari pebulu tangkis nasional Rudi Hartono).

Karena kecintaannya pada bulu tangkis pulalah Titik kerap diajak untuk ikut latihan di kantor ayahnya. Di SMP, Titik juga sangat jago Matematika. Ia kerap menjadi problem solver bagi teman-temannya manakala sudah buntu menyelesaikan satu soal aljabar dan ilmu ukur. Rumahnya di Bagong Ginayan kerap jadi basecamp anak-anak untuk belajar bersama.

Tahun 1968-1971, Titik melanjutkan sekolahnya di SMEA. Ia memilih SMEA Tumapel di jalan Tumapel. Pilihannya ini sempat disayangkan oleh kepala sekolahnya semasa di SMP, karena Titik dinilai pantas untuk duduk di SMA Negeri. Tapi Titik remaja punya alasan sendiri mengapa ia kemudian harus masuk di SMEA swasta itu. Saudara perempuan yang seharusnya mendaftarkannya di SMA Negeri lalai akibat asyik memadu kasih dengan pujaan hati, akibatnya hingga waktu pendaftaran ulang masuk SMA, Titik belum juga didaftarkan.

Pada tahun yang sama, tahun 1971, Titik bersentuhan dengan dunia kerjanya yang pertama. Ceritanya berawal ketika Titik duduk di kelas 1 SMEA. Perusahaan tempat ayah Titik bekerja mengadakan pertandingan bulu tangkis. Titik yang jago, diikutsertakan oleh sang ayahanda untuk membela nama perusahaan. Semenjak itulah, berturut-turut selama tiga tahun, Titik remaja menjadi juara umum tingkat perusahaan di Surabaya. Pada suatu hari, ketika ada peninjauan oleh panitia penyelenggara lomba, sang pimpinan meminta kesediaan ayah Titik agar anaknya sudi bekerja sebagai tenaga part time di perusahaan itu. Di tahun 1971 itulah Titik resmi bergabung di PT Sariagung yang bergerak di penjualan alat tulis kantor dan buku.

Pada tahun 1975-1978 Titik kemudian bekerja di PT Banyumas. Sebuah perusahaan yang bergerak di bidang kontraktor.

Pada 1978, ia dan suami hijrah ke Balikpapan walaupun hanya sebentar untuk kemudian kembali ke Malang. Kemudian pada tahun 1979, ia kembali ke Balikpapan dan masuk ke PT Trakindo Utama. Masa kerjanya di Balikpapan berkisar antara tahun 1979 hingga 1995. Tahun 1995 hingga Juni 2008 ia menghabiskan masa tugasnya di Samarinda. Kini,
setelah hampir 29 tahun mengabdi pada korporatokrasi asing (meminjam istilah Amien Rais) bernama Trakindo, ia bisa beristirahat dengan tenang dengan datangnya masa pensiun. Titik adalah seorang nenek yang baik dan hangat dari 2 orang cucu. Ia dan suami berencana menikmati masa tuanya di Malang.

Senin, 04 Agustus 2008

Achmad Sirajudin Zakaria

Dilahirkan pada 12 Agustus 1944, tepatnya di Rumah Sakit Mardi Waluyo, jalan Kauman Malang. Ibunya bernama Siti Noormas, seorang ibu rumah tangga. Bapaknya bernama Achmad Zakaria, seorang supir angkot, penyedia jasa transportasi dan juga aktivis sebuah partai Islam bernama Masyumi.

Sirajudin kecil lahir pada masa penjajahan Jepang, sebuah masa transisi yang kacau balau. Tanggal lahirnya pun diragukan keabsahannya karena pada zaman itu, sebuah tanggal hanya di catat pada sebuah dinding, yang begitu ditinggal pindah, maka hilanglah tanggal lahirnya. Keluarga itu sempat mengalami pindah rumah beberapa kali akibat perang.

Sirajudin adalah anak ke tujuh dari sembilan bersaudara. Anak pertama pasangan itu bernama Achmad Hanafiah Zakaria (almahum), selanjutnya Achmad Husein Zakaria (almarhum), Dr. Achmad Hatta Zakaria, Siti Raihanum (almarhum), Hj. Laily Zakaria, Hj. Sri Kasiyani, SH (almarhumah), kemudian Sirajudin Zakaria, Achmad Taqwa Zakaria dan si bungsu Triyono Zakaria (almarhum).

Masa kecil Sirajudin dihabiskan di Malang. Pada umurnya yang sangat muda, 5 tahun, Judin kecil sudah diajak bekerja oleh sang bapak. Ketika bapaknya menjadi supir dari angkot X Wilis (jenis taksi kayu) jurusan Malang-Surabaya dengan waktu keberangkatan pagi dan pulang sore, Judin sudah menjadi kernetnya.

Tahun 1950-1956 Judin menempuh pendidikan di Sekolah Rakyat (SR setingkat SD sekarang) Airlangga Malang. Pada waktu itu negeri mengalami resesi dimana Republik Indonesia belum tertata dengan baik. Zaman pun berjalan serba susah. Pendidikan di level yang mengenaskan dimana Judin kecil harus bersekolah tanpa sepatu, apalagi seragam. Tas dari belacu atau karung gandum yang dijahit dan diikat tali sebagai pegangannya. Buku belum ada. Maka untuk mencatat, dipakailah sabak yaitu “buku” yang terbuat dari batu. Pulpennya bernama grip, yaitu batu panjang yang dibentuk seperti pensil, yang tiap pagi harus diasah memakai batu juga.
Tak heran jika orang dulu mempunyai ingatan yang tajam karena mereka harus menghapal pelajaran yang didapat hari itu, mengingat sabak nya harus dibersihkan sepulang sekolah untuk digunakan lagi keesokan harinya.

Pembayaran sekolah pada zaman itu menggunakan OERI (Oeang Republik Indonesia) yaitu uang buatan Indonesia, mengingat uang Belanda dan Jepang yang beredar pada waktu itu tidak laku.

Judin kecil senang berkawan dan bersahabat. Pada kelas 3 SR, ia masuk Pandu Udara Malang 7. Sebuah pelatihan sejenis pramuka udara. Sesuai namanya, kelompok ini sangat mencintai segala sesuatu tentang angkasa. Kegiatannya mencakup merangkai pesawat model yang rangkanya terbuat dari kayu balsa dan didatangkan dari Amerika latin. Kegiatan lainnya yang sangat digemari Judin adalah camping. Selama 7 tahun Judin bergabung di pandu udara ini, yaitu dari kelas 3 SR hingga 3 SMP. Waktu yang tidak pendek. Bukti bahwa ia memang sangat menggemari kegiatan-kegiatan outbond dan sosialisasi.

Tahun 1956-1959 Judin mendaftar di SMP Negeri 2 Malang yang lokasinya berada persis di belakang pasar. Prestasi sekolah biasa-biasa saja, tidak ada yang istimewa. Judin berkawan dengan anak-anak kurang mampu yang rumahnya berada di pasar-pasar yang kumuh. Bisa dibayangkan kondisi pada saat itu. Bisa jadi kompetisi belajar tidak ada. Prestasi yang menonjol pada masa-masa SMP ini adalah bahwa Judin muda sudah menaklukkan jarak ribuan kilometer antara Malang-Bali hanya dengan bersepeda bersama teman-temannya. Fisiknya memang kuat dan jiwa berpetualangnya sudah nampak di usia semuda itu. Olahraga yang dia gemari adalah sepak bola.

Tahun 1959-1962 Judin masuk ke STM Nasional Malang di Jalan Kalimantan. Ia mengambil jurusan Bangunan Gedung. Ini adalah sentuhan akademis awalnya dengan arsitektur. Dari sini kemudian Judin ditempa oleh berbagai ilmu arsitektur yang akan membawanya pada dunia konstruksi di masa yang akan datang. Kelak, consistently, ia akan terus berada di jalur ini.

Tahun 1962-1965 Judin remaja memilih Universitas Bung Karno untuk tempatnya kuliah. Ia ingat pada waktu itu yang menjadi Dekan adalah Bapak Ir. Haryono Sigit. Judin mendaftar di Fakultas Teknik Jurusan Arsitektur. Pada masa perkuliahan, ia sempat ditunjuk menjadi Ketua Senat Mahasiswa ketika terjadi demonstrasi pergolakan politik kejatuhan bung Karno.
Karena masa perkuliahan Judin bersamaan dengan masa dijatuhkannya rezim Sukarno oleh pemerintahan Orde Baru, maka imbasnya Universitas Bung Karno juga dibubarkan. Tahun 1965, mahasiswa-mahasiswanya bubar jalan. Mereka yang secara ekonomi mampu, ditransfer ke Universitas lain, sedangkan Judin bersama kawan-kawan lain yang tergolong tidak mampu terpaksa harus berhenti kuliah sampai di sini. Sangat memprihatinkan.

Pada masa perkuliahan yang sedemikian singkat, Judin dan sahabat-sahabatnya sempat mengukir prestasi membanggakan. Di tahun kedua kuliah, tepatnya semester 3, mereka menyabet juara umum untuk lomba rancang bangun Monumen Bambu Runcing Battle Memorial. Tim solid itu terdiri dari Ia sendiri, Sucipto, M.Sakrie, Sri Murbanun dan Warih Prabowo.

Di masa itu itu juga, Judin sempat mengalami kecelakaan yang hampir merenggut nyawanya. Tahun 1964 di lapangan tembak Hayam Wuruk, pada sebuah latihan kemiliteran yang bersifat wajib bagi mahasiswa, Judin mengalami luka tembak yang serius. Peluru yang menerjangnya pada saat latihan rangkak itu menghujam pipi di bawah mata kanan hingga tembus ke rongga kepala dan keluar di bawah telinga kiri. Peristiwa yang mengguncang keluarga itu berakibat pada putusnya syaraf-syaraf ingatan Judin. Akibat dari peristiwa berdarah itu, ia sempat dirawat di Rumah Sakit Simpang selama 1 bulan. Malah sempat ada upacara melepas kepergian hingga sholat jenazah layaknya melepas orang yang telah wafat. Meskipun begitu, Sersan Mayor Sutrisno, pelatih militer Kodam V Brawijaya yang tak sengaja menembak Judin, malah diangkat menjadi saudara oleh sang ayah Achmad Zakaria. Inilah bukti kebesaran jiwa yang dimiliki oleh leluhur Zakaria.

Setahun setelah lulus, tahun 1966, Judin bekerja di PT Wisma Surya yang notabene adalah pelopor real estate pertama di Surabaya. Di perusahaan yang bergerak di bidang housing ini, ia tergabung dalam sebuah tim perencanaan. Yang menjadi proyek pertamanya adalah Perumahan Wisma Surya.

Tahun 1968, masih pada perusahaan housing, Judin pindah ke PT Pembangunan Dharmo Grande. Proyek pertama mereka yang lumayan besar adala pembangunan Kota Satellite di Kupang Surabaya. Dalam perjalanannya, PT Pembangunan Dharmo Grande kemudian mengalami akuisisi oleh investor dari Hongkong dan berubah nama menjadi PT. DST (Dharmo Satellite Town). Disini ia masuk sebagai salah satu anggota tim perencanaan. Ia juga sempat bekerja di sebuah perusahaan bernama PT. Oscar, selain juga menerima proyek-proyek kecil sebagai pekerjaan freelance.

Di tahun 1978, Judin yang sudah menikah membuat satu langkah besar yaitu hijrah ke Kalimantan. Di Balikpapan, ia kembali menggeluti dunia konstruksi, diawali dengan mendesain perumahan dengan konsep pra cetak (knockdown house), unit-unit rumah low cost yang dipakai oleh karyawan Pertamina di tingkat Low management. Yang membanggakan adalah, berawal dari 9 unit rumah type 48, hingga sekarang setelah jumlahnya bertambah banyak, model rumah sederhana ini masih digunakan di Telindung Balikpapan.

Di kota minyak ini, Judin sempat pula bergabung di PT. Fortune yang berlokasi di Jalan Impres. Selain itu, dalam perjalanannya, Judin banyak membangun rumah-rumah pribadi dan ruko-ruko yang merupakan pelopor awal berdirinya rumah toko di Balikpapan. Mesjid yang pertama di bangunnya adalah Mesjid Manuntung yang pada akhirnya mengenalkannya pada sejumlah teman yang hingga sekarang (2008) masih terjaga persahabatannya.

Di usianya yang menginjak 64 tahun. Sirajudin menghabiskan masa tua menimang kedua cucunya, Katya dan Kamal. Ia mensyukuri apa saja yang terjadi dalam hidupnya. Ia percaya masing-masing episode menyimpan hikmahnya sendiri-sendiri untuk dipetik.
Ia berencana menghabiskan masa tua bersama istri tercinta di kota kelahirannya, Malang.
 

Simply Dini Copyright © 2011 Designed by Ipietoon Blogger Template and web hosting