Senin, 08 Desember 2008

Papa dan Kaligrafi

Papaku tersayang telah menghasilkan banyak lukisan kaligrafi. Lukisannya tersebar di beberapa rumah saudara. Terpajang dengan indahnya di dinding. Sebentar, biar kuhitung ada berapa. Di rumahku, rumah Mas Amin, rumah Mas Edi, rumah Kiki, rumah Mbak Mita, rumah Mamak Galuh, rumah saudaranya sendiri, om Taqwa, hmm mungkin juga di rumah Mamak Haji Laily yang di Banjarmasin, aku juga kurang tahu. Ukurannya besar-besar. Jarang ada yang kecil.

Aku bangga tiap kali bersilaturahmi ke rumah saudara, yang kulihat adalah kaligrafi papa. Aku senang karena mereka menghargai karya papaku. Ada seorang keluarga di Depok yang baru pindah ke rumahnya yang besar, minta khusus kepada papa untuk mengirimkan satu buah lukisan kaligrafinya. Ketika kutanya kenapa, alasannya, “sekarang kan rumahku dah gede nih, jadi lukisan papamu cocok dipajang di dinding yang tinggi itu”. Ketika sewaktu-waktu aku berkunjung ke rumahnya, lukisan itu sudah terpajang di atas, di dinding antara lantai satu dan dua. Tinggiii sekali. Kelihatan bagus dan agung.

Lain waktu aku bertandang ke seorang kerabat yang rumahnya kecil dan sederhana. Rumahnya adem sekali. Dengan polosnya aku bertanya, “kok rumahnya terasa dingin ya”. Si saudara sambil senyum-senyum menunjuk ke sebuah lukisan kaligrafi yang bergaya minimalis. “Mungkin karena itu Din!”. Haha..lagi-lagi kaligrafi papa.

Di rumah seorang saudara yang modis dan kaya, lain lagi. Rumahnya itu tidak terlalu besar, tapi apiknya minta ampun. Si empunya rumah pandai memasang-masangkan warna, pandai mendekor, dan kebetulan, uangnya juga mumpuni. Rumah yang cantik itu dihiasi dengan gelas-gelas dan beraneka macam keramik yang terbuat dari kristal. Nah di dekat rak yang berkilauan oleh pajangan kristal itulah, kaligrafi papa terpampang dengan indahnya. Sedikit terlihat bercahaya juga, mungkin karena lokasinya dekat sekali dengan pajangan-pajangan tadi.

Aku menganggap ketertarikan papa akan ayat-ayat Allah itu adalah sebuah hidayah. Aku berharap seperti itu. Papa tidak bisa membaca kaligrafi yang dilukisnya. Jadi ia hanya mencontohnya dari karya-karya yang ia jumpai di majalah atau media lain. Katanya, “huruf Arab indahnya bukan main. Tersulur-sulur berirama, ramping-ramping pula”. Dulu aku ingat papa pasti akan mengcopy besar semua kaligrafi yang ia tertarik oleh keindahannya, kemudian menyilet setiap ayatnya, membolonginya, dan menempelnya di kanvas. Begitulah caranya “melukis”. Lebih mirip menjiplak..? memang hehehe, dan aku berharap Allah yang Maha Tahu memberi point pada tiap keantusiasan, tiap kekaguman, dan pada tiap niatan yang papa keluarkan. Niatannya itu ya Allah, harap Engkau saksikan. Meskipun ia tak bisa membaca Quran-Mu, namun ia punya niat baik untuk menyebarkan ayat-ayatMu itu..

Sekarang ini, papa tidak lagi berkarya, mungkin karena sudah terlalu sepuh. Mata itu sudah tak terlalu jeli, tak terlalu awas oleh warna-warna. Tubuh itu sudah tak kuat terlalu lama duduk, terlalu lama fokus. Tapi aku berharap suatu saat nanti, papa akan melanjutkan melukis. Itu terbukti mujarab menjadi kegiatan pengisi waktu. Aku juga rindu melihatnya melukis lagi.

0 comments:

 

Simply Dini Copyright © 2011 Designed by Ipietoon Blogger Template and web hosting