Senin, 04 Agustus 2008

Achmad Sirajudin Zakaria

Dilahirkan pada 12 Agustus 1944, tepatnya di Rumah Sakit Mardi Waluyo, jalan Kauman Malang. Ibunya bernama Siti Noormas, seorang ibu rumah tangga. Bapaknya bernama Achmad Zakaria, seorang supir angkot, penyedia jasa transportasi dan juga aktivis sebuah partai Islam bernama Masyumi.

Sirajudin kecil lahir pada masa penjajahan Jepang, sebuah masa transisi yang kacau balau. Tanggal lahirnya pun diragukan keabsahannya karena pada zaman itu, sebuah tanggal hanya di catat pada sebuah dinding, yang begitu ditinggal pindah, maka hilanglah tanggal lahirnya. Keluarga itu sempat mengalami pindah rumah beberapa kali akibat perang.

Sirajudin adalah anak ke tujuh dari sembilan bersaudara. Anak pertama pasangan itu bernama Achmad Hanafiah Zakaria (almahum), selanjutnya Achmad Husein Zakaria (almarhum), Dr. Achmad Hatta Zakaria, Siti Raihanum (almarhum), Hj. Laily Zakaria, Hj. Sri Kasiyani, SH (almarhumah), kemudian Sirajudin Zakaria, Achmad Taqwa Zakaria dan si bungsu Triyono Zakaria (almarhum).

Masa kecil Sirajudin dihabiskan di Malang. Pada umurnya yang sangat muda, 5 tahun, Judin kecil sudah diajak bekerja oleh sang bapak. Ketika bapaknya menjadi supir dari angkot X Wilis (jenis taksi kayu) jurusan Malang-Surabaya dengan waktu keberangkatan pagi dan pulang sore, Judin sudah menjadi kernetnya.

Tahun 1950-1956 Judin menempuh pendidikan di Sekolah Rakyat (SR setingkat SD sekarang) Airlangga Malang. Pada waktu itu negeri mengalami resesi dimana Republik Indonesia belum tertata dengan baik. Zaman pun berjalan serba susah. Pendidikan di level yang mengenaskan dimana Judin kecil harus bersekolah tanpa sepatu, apalagi seragam. Tas dari belacu atau karung gandum yang dijahit dan diikat tali sebagai pegangannya. Buku belum ada. Maka untuk mencatat, dipakailah sabak yaitu “buku” yang terbuat dari batu. Pulpennya bernama grip, yaitu batu panjang yang dibentuk seperti pensil, yang tiap pagi harus diasah memakai batu juga.
Tak heran jika orang dulu mempunyai ingatan yang tajam karena mereka harus menghapal pelajaran yang didapat hari itu, mengingat sabak nya harus dibersihkan sepulang sekolah untuk digunakan lagi keesokan harinya.

Pembayaran sekolah pada zaman itu menggunakan OERI (Oeang Republik Indonesia) yaitu uang buatan Indonesia, mengingat uang Belanda dan Jepang yang beredar pada waktu itu tidak laku.

Judin kecil senang berkawan dan bersahabat. Pada kelas 3 SR, ia masuk Pandu Udara Malang 7. Sebuah pelatihan sejenis pramuka udara. Sesuai namanya, kelompok ini sangat mencintai segala sesuatu tentang angkasa. Kegiatannya mencakup merangkai pesawat model yang rangkanya terbuat dari kayu balsa dan didatangkan dari Amerika latin. Kegiatan lainnya yang sangat digemari Judin adalah camping. Selama 7 tahun Judin bergabung di pandu udara ini, yaitu dari kelas 3 SR hingga 3 SMP. Waktu yang tidak pendek. Bukti bahwa ia memang sangat menggemari kegiatan-kegiatan outbond dan sosialisasi.

Tahun 1956-1959 Judin mendaftar di SMP Negeri 2 Malang yang lokasinya berada persis di belakang pasar. Prestasi sekolah biasa-biasa saja, tidak ada yang istimewa. Judin berkawan dengan anak-anak kurang mampu yang rumahnya berada di pasar-pasar yang kumuh. Bisa dibayangkan kondisi pada saat itu. Bisa jadi kompetisi belajar tidak ada. Prestasi yang menonjol pada masa-masa SMP ini adalah bahwa Judin muda sudah menaklukkan jarak ribuan kilometer antara Malang-Bali hanya dengan bersepeda bersama teman-temannya. Fisiknya memang kuat dan jiwa berpetualangnya sudah nampak di usia semuda itu. Olahraga yang dia gemari adalah sepak bola.

Tahun 1959-1962 Judin masuk ke STM Nasional Malang di Jalan Kalimantan. Ia mengambil jurusan Bangunan Gedung. Ini adalah sentuhan akademis awalnya dengan arsitektur. Dari sini kemudian Judin ditempa oleh berbagai ilmu arsitektur yang akan membawanya pada dunia konstruksi di masa yang akan datang. Kelak, consistently, ia akan terus berada di jalur ini.

Tahun 1962-1965 Judin remaja memilih Universitas Bung Karno untuk tempatnya kuliah. Ia ingat pada waktu itu yang menjadi Dekan adalah Bapak Ir. Haryono Sigit. Judin mendaftar di Fakultas Teknik Jurusan Arsitektur. Pada masa perkuliahan, ia sempat ditunjuk menjadi Ketua Senat Mahasiswa ketika terjadi demonstrasi pergolakan politik kejatuhan bung Karno.
Karena masa perkuliahan Judin bersamaan dengan masa dijatuhkannya rezim Sukarno oleh pemerintahan Orde Baru, maka imbasnya Universitas Bung Karno juga dibubarkan. Tahun 1965, mahasiswa-mahasiswanya bubar jalan. Mereka yang secara ekonomi mampu, ditransfer ke Universitas lain, sedangkan Judin bersama kawan-kawan lain yang tergolong tidak mampu terpaksa harus berhenti kuliah sampai di sini. Sangat memprihatinkan.

Pada masa perkuliahan yang sedemikian singkat, Judin dan sahabat-sahabatnya sempat mengukir prestasi membanggakan. Di tahun kedua kuliah, tepatnya semester 3, mereka menyabet juara umum untuk lomba rancang bangun Monumen Bambu Runcing Battle Memorial. Tim solid itu terdiri dari Ia sendiri, Sucipto, M.Sakrie, Sri Murbanun dan Warih Prabowo.

Di masa itu itu juga, Judin sempat mengalami kecelakaan yang hampir merenggut nyawanya. Tahun 1964 di lapangan tembak Hayam Wuruk, pada sebuah latihan kemiliteran yang bersifat wajib bagi mahasiswa, Judin mengalami luka tembak yang serius. Peluru yang menerjangnya pada saat latihan rangkak itu menghujam pipi di bawah mata kanan hingga tembus ke rongga kepala dan keluar di bawah telinga kiri. Peristiwa yang mengguncang keluarga itu berakibat pada putusnya syaraf-syaraf ingatan Judin. Akibat dari peristiwa berdarah itu, ia sempat dirawat di Rumah Sakit Simpang selama 1 bulan. Malah sempat ada upacara melepas kepergian hingga sholat jenazah layaknya melepas orang yang telah wafat. Meskipun begitu, Sersan Mayor Sutrisno, pelatih militer Kodam V Brawijaya yang tak sengaja menembak Judin, malah diangkat menjadi saudara oleh sang ayah Achmad Zakaria. Inilah bukti kebesaran jiwa yang dimiliki oleh leluhur Zakaria.

Setahun setelah lulus, tahun 1966, Judin bekerja di PT Wisma Surya yang notabene adalah pelopor real estate pertama di Surabaya. Di perusahaan yang bergerak di bidang housing ini, ia tergabung dalam sebuah tim perencanaan. Yang menjadi proyek pertamanya adalah Perumahan Wisma Surya.

Tahun 1968, masih pada perusahaan housing, Judin pindah ke PT Pembangunan Dharmo Grande. Proyek pertama mereka yang lumayan besar adala pembangunan Kota Satellite di Kupang Surabaya. Dalam perjalanannya, PT Pembangunan Dharmo Grande kemudian mengalami akuisisi oleh investor dari Hongkong dan berubah nama menjadi PT. DST (Dharmo Satellite Town). Disini ia masuk sebagai salah satu anggota tim perencanaan. Ia juga sempat bekerja di sebuah perusahaan bernama PT. Oscar, selain juga menerima proyek-proyek kecil sebagai pekerjaan freelance.

Di tahun 1978, Judin yang sudah menikah membuat satu langkah besar yaitu hijrah ke Kalimantan. Di Balikpapan, ia kembali menggeluti dunia konstruksi, diawali dengan mendesain perumahan dengan konsep pra cetak (knockdown house), unit-unit rumah low cost yang dipakai oleh karyawan Pertamina di tingkat Low management. Yang membanggakan adalah, berawal dari 9 unit rumah type 48, hingga sekarang setelah jumlahnya bertambah banyak, model rumah sederhana ini masih digunakan di Telindung Balikpapan.

Di kota minyak ini, Judin sempat pula bergabung di PT. Fortune yang berlokasi di Jalan Impres. Selain itu, dalam perjalanannya, Judin banyak membangun rumah-rumah pribadi dan ruko-ruko yang merupakan pelopor awal berdirinya rumah toko di Balikpapan. Mesjid yang pertama di bangunnya adalah Mesjid Manuntung yang pada akhirnya mengenalkannya pada sejumlah teman yang hingga sekarang (2008) masih terjaga persahabatannya.

Di usianya yang menginjak 64 tahun. Sirajudin menghabiskan masa tua menimang kedua cucunya, Katya dan Kamal. Ia mensyukuri apa saja yang terjadi dalam hidupnya. Ia percaya masing-masing episode menyimpan hikmahnya sendiri-sendiri untuk dipetik.
Ia berencana menghabiskan masa tua bersama istri tercinta di kota kelahirannya, Malang.

0 comments:

 

Simply Dini Copyright © 2011 Designed by Ipietoon Blogger Template and web hosting