Senin, 02 Agustus 2010

2 Agustus 2010


Hari ini sebulan yang lalu, ingatanku tentang proses kepergian papa seperti potongan-potongan slide yang terus berulang. Bahkan hingga saat ini, setelah hari berjalan 30 langkah. Setiap kali ingatan itu muncul, air mataku selalu mengalir tidak terbendung. Kesedihan ini menyesakkan dada dan aku selalu meyakinkan diri bahwa itu bukannya tidak ikhlas. Slide itu termasuk ketika papa berjuang meraup oksigen sebanyak-banyaknya, berusaha mengatur nafas mati-matian. Oh, begitu rupanya rasanya ketika maut menjemput. Namun aku merasa papa sangat bersahabat dengan malaikat maut. Aku merasa mereka menjemput papa dengan sangat lembut dan berhati-hati, seakan tidak ingin orang tua yang baik itu tersakiti. Betapa tenangnya ia ketika pergi. Di tengah istri tercinta dan dua anak yang menyayanginya, yang terus menuntunnya dengan zikir dan kalimah tauhid.

Skenario Allah begitu indah. Mereka berdua datang mengunjungiku, ingin mendampingi aku menjemput anak keduaku yang akan segera lahir. Ketika aku selesai bersalin aku mencium tangan mereka, papa juga. Dia tersenyum sejuk seperti biasa. Aku menangis mengingat betapa aku adalah anak yang mengecewakan. Namun pada akhirnya di tengah-tengah kesedihan ini aku merasa sangat bersyukur. Allah mengambil papa pada saat papa berada di rumahku, dekat dengan ku. Bisa aku dampingi. Ini adalah sesuatu yang aku doakan dan menakjubkannya, Dia mengabulkan itu. Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam. Aku juga masih takjub dengan dekatnya kuburan papa dengan rumahku. Ini memungkinkanku mengunjunginya sesering mungkin. Sekali lagi aku sangat bersyukur kepada Allah.

Memandang mama sekarang, seorang diri, ia tidak akan kemana-mana lagi. Ia akan tetap di sini, bersamaku anaknya, dan cucu-cucunya.

Untuk mama, aku berdoa kepada Allah hal yang sama. Aku merasa tersanjung karena Allah mempercayakan aku merawat mama. Allah mempercayakan aku berbakti kepadanya di sisa umurku. Aku juga tersanjung karena Allah memilih rumahku ketika menjemput papa. Malaikat maut telah bertamu ke rumah ini. Rumah ini telah ditakdirkan menjadi lebih bersejarah dari yang aku duga. Cerita di dalamnya lebih kaya dan dalam. Kepergian papa adalah puncaknya. Di tiap sudutnya sekarang tertoreh sejarah. Di kamar depan ruang dimana papa “pergi”. Di belakang tempat papa mandi untuk terakhir kalinya. Di depan tv ini rupanya ditakdirkan sebagai tempat papa disemayamkan.

Ketika proses aqiqah anak keduaku, Papa menyaksikan dalam tidur panjangnya. Subhanallah, maha suci Allah. Kelahiran dan kematian menjadi terasa begitu dekat hari itu. Aku menggendong bayiku dan berdoa di depan jenazah papa yang disemayamkan di depan tv. Merasakan sedih dan senang di detik yang sama walaupun sejujurnya rasa sedihnya lebih mendominasi. Aku hanya akan berkata bahwa Allah adalah Maha Besar dan Maha Kuasa atas segala sesuatu. Allah memberiku pelajaran besar dengan peristiwa ini. Aku sudah bukan orang yang sama lagi, dengan tekad baru.

Terima kasih ya Allah. Aku akan berusaha menata kesedihan ini. Aku ridho dengan keputusanMu namun tak bisa dipungkiri bahwa kenangan tentang papa akan selalu hidup di dalam hati. Kami hanya akan memeluknya dengan Al Fatihah dan doa-doa sekarang. Semoga Allah menempatkan papa di tempat yang mulia di sisiNya.

0 comments:

 

Simply Dini Copyright © 2011 Designed by Ipietoon Blogger Template and web hosting